BAB
I
PENDAHULUAN
Sekolah
masa depan adalah sekolah yang ditandai dengan pola pembelajaran yang
menyenangkan, karena terdapat sebuah pernyataan yang menyatakan, “belajar akan
efektif, kalau anda dalam keadaan fun”. Revolusi cara belajar mengubah
segalanya, ketika cita rasa yang menyenangkan menjadi atmosfir pembelajaran.
Dan tentunya harus memperhatikan “Warung Jamu” yaitu sebuah kaidah yang
merupakan kepanjangan dari Waktu-Ruang-Jumlah dan Mutu. Makna Warung Jamu
adalah dimensi ukur yang harus diperhatikan, ketika seorang Guru melakukan
pembelajaran.
- Kapan [waktu], kita melalukan pembelajaran
- Pada kondisi yang bagaimana [ruang], kita melakukan pembelajaran
- Kuantitas audience [jumlah]
- Kuliatas yang diharapkan [mutu]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teori mempunyai beberapa pengertian yaitu : Teori
adalah pendapat yang dkemukakan sebagai keterangan mengeanai suatu peristiwa. Teori
merupakan asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu
pengetahuan. Teori adalah pendapat, cara dan aturan untuk
melakukan sesuatu[1].
Belajar
adalah proses atau usaha yang dilakukan untuk mencari dan mendapatkan sebuah
atau lebih dari informasi.
B.
Teori-teori Pokok Belajar
Teori
belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori, teori-teori
yang akan di bahas di dalam makalah ini yaitu : Teori Behavioristik (Connectionism, Classical Conditioning,
Operant Conditioning,) Cognitive, Social Learning, Quantum
Learning.
1.
Teori Behavioristik
Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan
perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat
diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang
dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya”. Dan teori ini meliputi :
a)
Connectionism (Koneksionisme)
Teori
ini adalah toeri yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan
eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan
hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor
kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkna kucing tersebut memperoleh makanan yang
tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan bagian dalam sangkar disebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan
memperoleh makanan yang ada dimuka pintu.
Berdasarkan
eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara
stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R
Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning” selain itu, teori ini juga
dikenal dengan sebuta “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjukkan pada
panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan
(Hilgard and Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam
eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua pokok yang mendorong timbulnya
fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing
yang lapar. Seandainya ini kenyang sudah tentu tak akan berusaha untuk keluar.
Bahkan barangkali ia tidur saja dalam puzzle
box yang mengurungnya. Bisa juga dikatakan kucing tidak akan menampakkan
gejala untuk keluar. Hal ini dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa
lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya
makanan di muka puzzle box. Maka ini
merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh rspons dan kemudian
menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respin yang menghasilkan yang
memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah
pula hubungan stimulus dan respons tersebut[2].
b)
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori
ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavloy
(1849-1936), seorangh ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel
pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya
reflex tersebut (Terrace, 1973).
Kata
classical yang mengawali nama teori
ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Parlov yang dianggap paling
dahulu dibidang conditioning (upaya
pembiasan) dan untuk membedakannya dari teori conditioining lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena
fungsinya, teori Pavlov ini juga disebut respondent
conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam
eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui antara hubungan
conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned respons
(CR), unconditioned respons (UCR).
CS
adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan
respons yang dipelajari itu sendiri CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan resppons yang tidak dipelajari
itu disebut UCR.
Anjing
percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar
dari air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa
kecil. Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara
alalmi anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi
makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya
yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian,
dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS)
bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah
latihan yang berulangkali ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi
tanpa disertai dengan makanan (UCS). Ternyata anjing percobaan tadi
mengekuarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi,
CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan
ekperimen di atas, semakin jelas bahwa
belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus
dan respons. Jadi, eksperimen Thorndike dan Pavlov kurang lebih sama.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus
yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus yang diperkuat (UCS),
stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akan menimbulkan respons atau perubahan
yang kita dikehendaki yang dalam hal ini CR[3].
c)
Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori
ini adalah teori yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh
dikalangan para ahli psikiligi belajar masa kini. Burrhus Frederic Skinner
(1904) adalah pencipta dari teori ini yang dia adalah seorang penganut
behaviorisme yang dianggap kontaversial. Operant adalah sejumlah prilaku atau
respon yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber,
1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan
dari stimulus tertentu), respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek
yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya
adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya
seperti dalam classical respondent
conditioning.
Dalam
salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan
dalam sebuah peti yang dikenal dengan “Skinner Box”. Peti ini terdiri dari dua komponen yakni: reinforcement
yang antara lain berupa wadah makanan dan manipulandum yang artinya
adalah komponen yang dapat dimanipulasi
dan gerakannnya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas
tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Eksperimen
tersebut mula-mula tikus mengeksplorasi peti sangkar dengan cara berlari kesana
kemari,mencium benda-benda yang di sekitarnya, mencakar dinding dan sebagainya.
Tingkah seperti itu disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar),
yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memperdulikan stimulus
tertentu. Kemudian p[ada gilirannya, secara kebetulan salah satu emmited
behavior tersebut (sperti cakaran kakidepan atau sentuhan moncong) dapat
menekan pengunkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan yang muncul pada wadah makanan.
Butir-butir
makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit.
Penekanan pengungkit inilah disebut tingkahg laku operant yang akan
terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan
berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas
sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial dan error
learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku
belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction (kepuasaan),
sedangkan menurut Skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement
(penguatan)[4].
2.
Cognitive (Kognitif)
Teori psikologi kognitif adalah bagian
terpenting dari sains kognitif yang telah memberikan kontribusi yang sangat
berarti dalam perkembangan psikologi belajar sains kognitif merupaka himpunan
disiplin yang terdiri atas : psikologi kognitif , ilmu-ilmu computer,
linguistic, inteligensi buatan, matematika, dan epistemology.
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan
arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli
kognitif, tingkah laku yang tampak dapat diukur dan diterangkan tanpa
melobatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan
sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering
dipertentangkan dengan pendekatan behavioristic, tidak berate psikologi
kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli
psikilogi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori
psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah
cipta seperti berfikir, mempetimbangkan pilihan dalam mengambil keputusan.
Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Dalam psikologi kognitif, balajar pada asasnya
adalah peritiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah)
meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap
peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar
membaca dan menulis, misalnya, tentu
menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mullut dan tangan) untuk
mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena
dorongan mental yang diatur oleh otaknya[5].
Teori belajar kognitif ini sebenarnya lebih menekankan pada belajar, karena belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti
juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan
dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar
matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang
proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan
tingkah laku[6].
3.
Social Learning (Belajar Sosial)
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan
dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini juga dikenal dengan sebutan observational learning
(belajar observasional/dengan pengamatan). Teori ini merupakan sebuah teori
belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Teori
pembelajaran social ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986) seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat. Teori ini
menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku,
tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan
perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran
social kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari
orang lain. Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak didorong oleh
kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus
lingkungan.
Teori belajar social menekankan bahwa
lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan ;
lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14)
bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran social adalah
pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling
penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan
,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang
dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan
ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan
perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini
merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua,
pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak
mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang
memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh
pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila
menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan
oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang
pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap
kepribadian, teori pembelajaran social berdasarkan pada penjelasan yang
diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia
adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk
menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori-teori
sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks social dimana tingkah laku ini
muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi
dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang
lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal
tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.[7]
4.
Quantum Learning
Quantum learning adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk
semua umur[8]. Quantum
learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat
mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu
proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan
teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan.
Namun, Bobbi De Porter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya
ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam
menghadapi tantangan dan perubahan realitas.
Quantum learning berakar dari upaya Georgi
Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang
disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa
sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil
apapun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti
positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman.
Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar,
yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni
pengajaran sugestif bermunculan.
Quantum learning mencakup aspek-aspek penting
dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana
otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan
perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan
guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan
bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor
penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula
menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang (Bobby De
Porter dan Hernacki, 1992).
Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum
learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.”
Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi
manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal
energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”.
“Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi,
hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah,
quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar,
dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep
kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori
otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan
kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan
pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning),
simulasi/permainan.
Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum
learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran”
yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama
dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang
bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja.
Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses
belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons
menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau
dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan
balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna
untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar,
bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat
pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap
keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”
Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan
bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model
pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik,
matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal,
intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik
(melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui
bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi
(melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat). Bagaimana
memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses berpikir
otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya,
dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat
ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan
fakta, fonetik, serta simbolisme. Proses berpikir otak kanan (yang bersifat
acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses
pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan
emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu
benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan
warna, kreatifitas dan visualisasi.
Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses
belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan,
dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari
kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan
otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan
kehormatan diri.
Dari proses inilah, quantum learning menciptakan
konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat
simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa
saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan
Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.”
Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak
dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang
dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari
kehidupan.”
Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum
learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang
tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan
sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta
didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara
fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para
pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur
pengalaman belajar.
Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua
yaitu:
a)
Lingkungan
Mikro
Lingkungan
mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan
berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan
desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam
menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan
orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran
umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan
perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja,
kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah
menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai
mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar
dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak
bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.
b)
Lingkungan
Makro
Lingkungan
makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang
belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan
kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang
diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir
mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari
informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif
dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat
pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu,
berinteraksi dengan masyarakat juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan
datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif
di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai
sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa
kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam
dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro.
Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru.
Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan
merasa dihargai” dari siswa.[9]
BAB III
PENUTUP
1.
Teori behavioristic
Teori belajar
behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah
laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra
manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Dan
teori ini meliputi :
a.
Connectionism (Koneksionisme)
Teori
ini adalah toeri yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Di dalam teori
ini Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan
respons.
b.
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori
ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov.
Hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan selalu disertai dengan stimulus yang
diperkuat, stimulus tadi cepat atau lambat akan menimbulkan respons atau
perubahan yang kita dikehendaki yang dalam hal ini.
c.
Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori
ini adalah teori yang berusia paling muda dan berpengaruh. Burrhus Frederic
Skinner (1904) adalah pencipta dari teori ini.
2.
Cognitive (Kognitif)
Teori belajar kognitif ini sebenarnya lebih menekankan pada belajar, karena belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
3.
Social Learning (Belajar Sosial)
Teori ini menerima sebagian besar dari
prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak
penekanan pada kesan dan segala isyarat perubahan perilaku, dan pada
proses-proses mental internal.
4.
Quantum Learning
Quantum learning adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif
untuk semua umur[10].
Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar
yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai
suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ct. ke-1, h. 1041
Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Belajar, (Pamulang Timur:PT LOGOS
Wacana Ilmu, 1999), Ct. ke-1, h. 83
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning,
(Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h. 15
[1]Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Ct. ke-1, h. 1041
[2]Muhibbin Syah,
M.Ed., Psikologi Belajar, (Pamulang Timur:PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Ct.
ke-1, h. 83
[8]Bobbi DePorter
dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h.
15
[10]Bobbi DePorter
dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h.
15
akhi izin copas, semoga lbh maju blognya lg
BalasHapus