Minggu, 08 Juli 2012

TEORI-TEORI BELAJAR


BAB I
PENDAHULUAN
Sekolah masa depan adalah sekolah yang ditandai dengan pola pembelajaran yang menyenangkan, karena terdapat sebuah pernyataan yang menyatakan, “belajar akan efektif, kalau anda dalam keadaan fun”. Revolusi cara belajar mengubah segalanya, ketika cita rasa yang menyenangkan menjadi atmosfir pembelajaran. Dan tentunya harus memperhatikan “Warung Jamu” yaitu sebuah kaidah yang merupakan kepanjangan dari Waktu-Ruang-Jumlah dan Mutu. Makna Warung Jamu adalah dimensi ukur yang harus diperhatikan, ketika seorang Guru melakukan pembelajaran.
  • Kapan [waktu], kita melalukan pembelajaran
  • Pada kondisi yang bagaimana [ruang], kita melakukan pembelajaran
  • Kuantitas audience [jumlah]
  • Kuliatas yang diharapkan [mutu]



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia teori mempunyai beberapa pengertian yaitu : Teori adalah pendapat yang dkemukakan sebagai keterangan mengeanai suatu peristiwa. Teori merupakan asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori adalah pendapat, cara dan aturan untuk melakukan sesuatu[1].
Belajar adalah proses atau usaha yang dilakukan untuk mencari dan mendapatkan sebuah atau lebih dari informasi.
B.     Teori-teori Pokok Belajar
Teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori, teori-teori yang akan di bahas di dalam makalah ini yaitu : Teori Behavioristik (Connectionism, Classical Conditioning, Operant Conditioning,) Cognitive, Social Learning, Quantum Learning.
1.      Teori Behavioristik
Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Dan teori ini meliputi :
a)      Connectionism (Koneksionisme)
Teori ini adalah toeri yang ditemukan dan dikembangkan oleh  Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar di tempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkna kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan bagian dalam sangkar disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu.
Berdasarkan eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning” selain itu, teori ini juga dikenal dengan sebuta “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjukkan pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard and Bower, 1975). Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya ini kenyang sudah tentu tak akan berusaha untuk keluar. Bahkan barangkali ia tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Bisa juga dikatakan kucing tidak akan menampakkan gejala untuk keluar. Hal ini dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka puzzle box. Maka ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh rspons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respin yang menghasilkan yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut[2].
b)     Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavloy (1849-1936), seorangh ilmuwan besar Rusia yang berhasil menggondol hadiah Nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut (Terrace, 1973).
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Parlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pembiasan) dan untuk membedakannya dari teori conditioining lainnya (Gleitman, 1986). Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui antara hubungan conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned respons (CR), unconditioned respons (UCR).
CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan resppons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar dari air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil. Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara alalmi anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulangkali ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai dengan makanan (UCS). Ternyata anjing percobaan tadi mengekuarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan ekperimen di atas, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, eksperimen Thorndike dan Pavlov kurang lebih sama. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus yang diperkuat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita dikehendaki yang dalam hal ini CR[3].
c)      Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori ini adalah teori yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh dikalangan para ahli psikiligi belajar masa kini. Burrhus Frederic Skinner (1904) adalah pencipta dari teori ini yang dia adalah seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontaversial. Operant adalah sejumlah prilaku atau respon yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan dari stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang dikenal dengan “Skinner Box”.  Peti ini terdiri dari dua komponen yakni: reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan dan manipulandum yang artinya adalah  komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannnya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Eksperimen tersebut mula-mula tikus mengeksplorasi peti sangkar dengan cara berlari kesana kemari,mencium benda-benda yang di sekitarnya, mencakar dinding dan sebagainya. Tingkah seperti itu disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian p[ada gilirannya, secara kebetulan salah satu emmited behavior tersebut (sperti cakaran kakidepan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengunkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkahg laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperimen Skinner di atas mirip sekali dengan trial dan error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal ini, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction (kepuasaan), sedangkan menurut Skinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement (penguatan)[4].
2.      Cognitive (Kognitif)
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar sains kognitif merupaka himpunan disiplin yang terdiri atas : psikologi kognitif , ilmu-ilmu computer, linguistic, inteligensi buatan, matematika, dan epistemology.
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku yang tampak dapat diukur dan diterangkan tanpa melobatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristic, tidak berate psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikilogi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berfikir, mempetimbangkan pilihan dalam mengambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Dalam psikologi kognitif, balajar pada asasnya adalah peritiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral  tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,  misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mullut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya[5].
Teori belajar kognitif ini sebenarnya lebih menekankan pada belajar, karena belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku[6].
3.      Social Learning (Belajar Sosial)
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini juga dikenal dengan sebutan observational learning (belajar observasional/dengan pengamatan). Teori ini merupakan sebuah teori belajar yang relative masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Teori pembelajaran social ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986) seorang psikolog pada Universitas Stanford Amerika Serikat. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran social kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar social “ manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan.
Teori belajar social menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan ; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran social adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan ,Pertama. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,Contohnya : seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M,1998.a:4).
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran social berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks social dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.[7]
4.      Quantum Learning
Quantum learning adalah seperangkat metode  dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur[8]. Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi De Porter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas.
Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apapun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.
Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang (Bobby De Porter dan Hernacki, 1992).
Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan.
Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”
Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik, matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik (melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi (melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat). Bagaimana memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses berpikir otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya, dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Proses berpikir otak kanan (yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreatifitas dan visualisasi.
Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan kehormatan diri.
Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”
Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar.
Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu:
a)      Lingkungan Mikro
Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.
b)     Lingkungan Makro
Lingkungan makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu, berinteraksi dengan masyarakat juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan merasa dihargai” dari siswa.[9]


BAB III
PENUTUP
1.      Teori behavioristic
Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Dan teori ini meliputi :
a.      Connectionism (Koneksionisme)
Teori ini adalah toeri yang ditemukan dan dikembangkan oleh  Edward L. Thorndike (1874-1949). Di dalam teori ini Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons.
b.      Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov. Hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan  selalu disertai dengan stimulus yang diperkuat, stimulus tadi cepat atau lambat akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita dikehendaki yang dalam hal ini.
c.       Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori ini adalah teori yang berusia paling muda dan berpengaruh. Burrhus Frederic Skinner (1904) adalah pencipta dari teori ini.
2.      Cognitive (Kognitif)
Teori belajar kognitif ini sebenarnya lebih menekankan pada belajar, karena belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
3.      Social Learning (Belajar Sosial)
Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan segala isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
4.      Quantum Learning
Quantum learning adalah seperangkat metode  dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur[10]. Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ct. ke-1, h. 1041
Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Belajar, (Pamulang Timur:PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Ct. ke-1, h. 83
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h. 15


[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ct. ke-1, h. 1041
[2]Muhibbin Syah, M.Ed., Psikologi Belajar, (Pamulang Timur:PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Ct. ke-1, h. 83
[3]Ibid, h. 85
[4]Ibid, h. 88
[5]Ibid, h. 92
[8]Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h. 15
[10]Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Bandung:Kaifa, 2000), Ct. ke-7, h. 15

1 komentar: