Minggu, 08 Juli 2012

Dinasti Umayyah


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kebudayan Islam kita mengenal mungkin mengenal dinasti Umayyah. Dinasti ini sangat penting dalam perannya menyebarkan agama Islam. Nah sekarang kami akan membahas tentang Dinasti Umayyah ini yaitu:
1.      Asal-usul Bani Umayyah
2.      Profil Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3.      Perang Shiffin
4.      Tahkim dan Amul Jama’ah
5.      Kebijaksanaan Mu’awiyah
Kami mencari informasi tentang hal ini dengan cara membaca buku yang bersangkutan dengan pembahasan dan sambil membanding-bandingkan dengan buku lain.


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Asal-usul Bani Umayah
Nama “Daulah Umawiyah” itu berasal dari nama “Umayah ibnu Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimipin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman jahiliyah. Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yaitu Hasyim Abdi Manaf, persoalannya tentang merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam masyarakat dan bangsanya. Dan ia memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di jaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Ketiga hal ini merupakan syarat untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan[1].
Sesudah datang Agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umayah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, karena persaingan-persaingan dalam merebut kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang nyata. Bani Umayah tegas menentang Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam, tapi sebaliknya Bani Hasyim justru menyokong dan melindungi Rasulullah, baik mereka yang sudah masuk Islam ataupun yang belum. Perlu kita ketahui bahwa dalam perang Badr pusat kekuatan Quraisy ialah pada Bani Abdi Syams. Abu Sufyan-lah pemilik iringan unta-unta yang membawa barang dagangan dari negeri Syam ke Makkah.
Bani Umayah barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk ke kota Makkah. Dengan demikian teranglah bahwa Bani Umayyah itu adalah orang-orang yang terakhir masuk Agama Islam, dan juga merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya. Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingnya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya. Merek benar-benar telah mencapai prestasi yang baik sekali dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang murtad dan orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, serta orang-orang yang enggan memabayar zakat. Perlu kita ketahui bahwa Abu Sufyan merupakan pemimpin Bani Umayyah, dan ia kehilangan sebelah matanya ketika ia ikut berperang bersama-sama Rasulullah dalam berbagai peperangan. Dan ia kemudian kehilangan matanyanya yang sebelah lagi, ketika ia ikut berperang dalam pertempuran di Yarmuk di bawah pimpinan puteranya sendiri, Yazid ibnu Abi Sufyan, dan isteri Abi Sufyan dan ibu Mu’awiyah[2].
Bani Umayyah pada hakekatnya menginginkan jabatan khalifah, tapi belum ada mempunyai harapan untuk mencapai cita-cita tersebut di masa khalifah Abu Bakar dan Umar. Setelah Umar tertikam, lalu menyerahkan kepada 6 orang sahabat tentang pergantian khlifah maka saat ini Bnai Umayyah punya harapan besar. Lalu mereka menyokong terang-terangan pencalonan Utsman sebagai Khalifah dan akhirnya Utsman terpilih. Ada suatu riwayat mengatakan bahwa Khalifah Umar mengangkat Mu’awiyah menjadi Gubernur di negeri Syam. Dan pada saat Khalifah Utsman terbunuh, Mua’wiyah masih memegang kekuasaan disana. Hal inilah yang memungkinkan baginya untuk dapat berjuan terus untuk melawan Ali, sampai akhirnya Ali dapat dikalahkannya. Dengan demikian berpindahlah jabatan khalifah secara resmi kepada Mu’awiyah. Keluarga Bani Umayyah terdiri dari dua cabang, merekalah yang memegang jabatan khalifah itu. Cabang pertama ialah keluarga Harb ibnu Umayyah, dan cabang kedua adalah keluarga Abul ‘Ash ibnu Umayyah. Tapi kebanyakan khalifah-khalifah Bani Umayyah berasal dari yang kedua[3].
2.      Profil Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Mu’wiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijriah, dan masuk Islam pada hari penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah lainnya. Mu’awiyah merupakan keturunan yang ketiga dari Umayyah. Karena Umayyah beranak Harb, Harb beranak Shakhr yang bergelar Abu Sufyan dan Abu Sufyan beranak Mu’awiyah. Dialah kepala kaum Quraisy yang terkemuka ketika melawan Nabi Muhammad SAW, juga menjadi kepala perangkatan perniagaan dan juga pernah menjadi utusan berembuk dengan Nabi di Madinah. Apalagi Nabi Muhammad adalah menatunya, sebab anaknya Ummu Habibah menjadi isteri Nabi. Abu Sufyan memeluk agama Islam ketika Rasulullah menaklukan Makkah[4].
Mu’awiyah banyak meriwayatkan hadits, baik yang langsung dari Rasulullah maupun sahabat terkemuka, dan dari saudara perempuannya, Habibah binti Abi Sufyan isteri Rasulullah, dan dari Abdul ibnu Abbas, Sa’di ibnul Musaiyab, dan lain-lainnya. Yazid ibnu Abu Sufyan diangkat menjadi panglima dari salah satu empat divisi, yang dikerahkan khalifah Abu Bakar untuk menakluka daerah Syam.
Tujuannya adalah kota Damaskus (Damsyik). Dan ketika khalifah Abu Bakar memgirimkan bala bantuan untuk memperkuat pasukan-pasukan itu, Mu’awiyahlah yang memimpin tentara bantuan yang dikirimkan untuk Yazid. Mu’awoyah bertempur dibawah pimpinan saudaranya. Dan ia memimpin lascar islam yang menaklukan kota Sidon, Beirut dan lain-lainnya yang terletak di pantai Damaskus. Dan setelah kaum muslimin menang dan saat itu masa pemerintahan Umar, lalu Umar mengangkat Yazid jadi Gubernur daerah Damaskus (Damsyik), dan Mu’awiyah jadi Gubernur Yordania. Yazid meninngal dunia karena penyakit pes yang berjangkit di kota Amuas, lalu khalifah Umar menyatukan Damaskus dengan Yordania dalam kekuasaan Mu’awiyah. Mu’awiyah adalah seorang pemimpin yang berpribadi kuat dan amat jujur, serta ahli lapangan politik.
Inilah yang menyebabkan khalifah Umar suka padanya. Dan dimasa khalifah Utsman daerah Syam diserahkan kembali pada Mu’awiyah. Dia sendirilah yang mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat pemerintahannya. Mu’awiyah menjadi Gubernur selama 20 tahun, dan sesudah itu ia menjadi khalifah selama 20 tahun pula[5].
Masa pemerintahan Utsman yang panjang, memungkinkan Mu’awiyah mempersiapkan dirinya untuk meletakkan dasar-dasar mendirikan kerajaannya. Setelah Utsman terbunuh lalu Ali diangkat menjadi khalifah, dan datanglah masa Mu’awiyah untuk melakukan perannya. Dengan adanya persiapan yang sempurna itu Mu’awiyah menantang pengangkatan Ali menjadi khalifah. Dengan alas an bahwa ia berhak menuntut bela darah Utsman yang tealh tertumpah, dan Ali lalai membela Utsman, atau sebenarnya telah melindungi pembunuh-pembunuhnya. Sejak itu mulailah terjadi pertempuran-pertempuran, yang terpenting adalah pertempuran Shiffin, dimana Mu’awiyah mengalami kekalahan dimedan perang, tetapi ia menang dalam bidang pengalaman dan politik. Setelah peperangan shiffin terjadilah peperangan antara Mu’awiyah dan Ali yang Ali merasa terpojok karena selain harus melawan Mu’awiyah juga harus melawan kaum khawarij dan perlawanan pengikutnya di Iraq yang bersikap murtad dan munafik kepadanya, serta enggan memberikan pertolongan kepadanya. Di fihak lain Mu’awiyah makin ditaati dan bergengsi dengan dunia politiknya. Ali barulah terlepas dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya setelah ditikam Ibnu Muljim dan membuatnya membawa umur, lalu kekuasaan beralih kepada Mu’awiyah. Setelah terbunuhnya Ali lalu ada dorongan kuat terhadap Hasan bin Ali bin Abi Thalib oleh kaum Syiah agar ia menjadi khalifah, tetapi ia mendapatkan serangan dari kaum munafik. Dan akhirnya ia menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah dengan beberapa syarat yaitu:
1.      Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Iraq
2.      Menjamin keamanan, dan mema’afkan kesalahan-kesalahan mereka
3.      Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukan kepadanya dan diberikan tiap-tiap tahun.
4.      Agar Mu’awiyah membayar saudaranya, yaitu Husein, 2 juta dirham
5.      Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian Bani Abdi Syams.
Bagi Mu’awiyah syarat-syarat itu tidak perlu dipertimbangkan, asal Hasan bersedia  mengundurkan diri. Perdamaian pun berlangsung atas dasar ini, Hasan lalu mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah dan ia mengumumkan bahwa ia taat dan patuh kepada Mu’awiyah. Mu’awiyah itu memiliki sifat dan tegas, dan kadang-kadang menunjukkan sifat toleransi dan lapang hati.
Dimasa pemerintahannya, Mu’awiyah telah menciptakan hal-hal baru yang blum pernah diadakan orang sebelum itu. Dialah yang mula-mula memerintahkan supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata tembok bila mereka berada dihadapnnya. Dan dia pulalah khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan “anjung” dalam masjid tempatnya shalat. Untuk menjaga keamanan dirinya dari serangan musuh-musuhnya ketika ia sedang shalat. Kekuatirannya disebabkan khalifah Umar dan Ali dulunya dibunuh orang ketika masing-masing sedang shalat. Selain itu ia juga orang yang mula-mula mendirikan “Kantor cap (percetakan mata uang)”. Jadi pada masa pemerintahan Mu’awiyah adalah yang paling cemerlang diantara masa-masa Khilafah Islamiyah seluruhnya, dimana keamanan dalam negeri begitu baiknya, dan segala yang bersikap permusuhan terhadapnya telah dapat dibasmi, berkat moral Mu’awiyah yang tinggi, ataupun karena hadiah-hadiah, dan pedangnya yang tajam. Masa pemerintahannya adalah masa kemakmuran dan masa kekayaan yang berlimpah-limpah, begitu juga tentang hubungan luar negeri[6].
3.      Perang Shiffin
Peperangan Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Mu’wiyah. Ali dan pengikut-pengikutnya mula-mulanya mengira bahwa peperangan pertama dan itupun akan menjadi peperangan yang penghabisan maka haruslah berhasil untuk menundukkan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan yang didukung penduduk Syam. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Thalhah dan Zubair sebelumnya tidak dipandang musuh oleh Ali,  lebih-lebih sesudah keduanya memberiakn bai’ah dan sumpah setianya kepada Ali. Begitu pula tidak seorang juga menyangka bahwa kebencian Aisyah terhadap Ali akan samapi demikian rupa sehingga Aisyah menceburkan diri dalam kancah peperangan memimpin bala tentara melawan Ali. Akibatnya perlengkapan untuk melawan Mu’awiyah menjadi dibelokkan karena perkembangan situasi yang akhirnya terjadilah perang Jamal. Peperangan Jamal  mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali,  yang berarti dia kehilangan tenaga uang baik. Sementara itu Mu’awiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat[7].
Akhirnya Mu’awiyah yang cerdik dengan memanfaatkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman untuk menjatuhkan Ali di mata Umat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat dengan memperlihatkan di dalam Masjid Damaskus barang-barang peniggalan khalifah Utsman beserta potongan jari Bibi Naila, istri khalifah Utsman, yang terpotong ketika berusaha menyelamatkan suaminya. Dia menuntut Ali untuk menemukan dan menghukum para pembunuhnya kalau tidak, dia harus menerima sebagai pembunuhnya dan menurut Mu’awiyah juga bahwa Ali telah memberi perlindungan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman.
Akan tetapi Ali masih juga memperlihatkan kesukaanya kepada perdamaian. Berkali-kali dikirimnya surat dan diutusnya delegasi kepada Mu’awiyah, meminta agar Mu’awiyah bersatu dengannya. Tetapi, Mu’awiyah tidak mendengarkan. Tak mudah Mu’awiyah melepaskan kekuasaan yang ada ditangannya. Demikian Mu’awiyah memperkuat penolakannya terhadap Ali sebagai khalifah dan menetang perintahnya untuk meletakkan jabatan. Pertempuran terjadi antara keduanya beberapa hari lamanya. Khalifah Ali dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya. Khalifah Ali bergerak dari Kufa memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan Mu’awiyah yang maju dengan tentara yang besar untuk menghadapi tentara khalifah Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan Shiffin. Khalifah Ali mau menghindari pertumpahan darah umat Islam dan mau menyelesaikan perselisihan dengan damai. Tapi Mu’awiyah menolak lalu Khalifah Ali mengusulkan suatu perang tanding, karena usaha penyelesaian secara damai menemui kegagalan, pertempuran pun meletus. Pada perang shiffin kedua, keberanian dan kepemimpinan Ali membersihkan medan shiffin dari pasukan musuh. Sebanyak 7.000 orang Islam gugur dalam pertempuran karena menghadapi kekalahan yang luar biasa, Mu’awiyah yang cerdik, atas nasihat sekutunya yang cerdik Amar bin ‘Ash, mengikatkan al-Qur’an pada ujung tombak dengan demikian agar persoalan diselesaikan menurut al-Qur’an. Ali mengerti kalau itu hanya tipu daya dan ingin melanjutkan pertempuran, akan tetapi tentaranya menuntut agar menghentikan pertempuran. Oleh karena itu, peperangan berhenti dan  Mu’awiyah terhindar dari kehancuran. Maka terjadilah peristiwa yang disebut tahkim[8].


4.      Tahkim dan Ahlul Jama’ah
Tahkim ialah kesepakatan antara kedua belah pihak dengan dua orang penengah. Setelah pertempuran berhenti, maka mereka bertahkim. Kedua hakim tersebut berkumpul dan berunding membahas sebab-musabab perselisihan, sehingga didapat satu jalan untuk menyelesaikannya. Mu’awiyah mengangkat sahabatnya ‘Amar bin ‘Ash yang cerdik untuk menjadi penengahnya. Sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-‘Asy’ari, yang bukan tandingannya Amar yang lihai dan licik. Kedua penengah tersebut masing-masing dibantu oleh 400 orang, dan seandainya para penengah itu tidak bisa menyelesaikan persolan, masalah itu akan diputuskan dengan suara mayoritas[9].
Kedua hakim ini berkumpul pada bulan Ramadhan tahun 34H. sesungguhnya tak terdapat keseimbangan dalam pertahkiman ini. ‘Amar unggul dalam mempergunakan tipu muslihatnya, tetapi Abu Musa Al’Asy’ari adalah seorang yang baik hati. Lurus dan serba mudah. ‘Amar amat erat pertaliannya dengan Mu’awiyah sedangkan Abu Musa tidak ada sangkut pautnya dengan nasib Ali.
Cukup aneh, tentara Ali yang mengusulkan perselisihan dengan perwasitan, sekarang perwasitan oleh manusia itu sebagai dosa. Mereka berkata perwasitan itu hanyalah milik Allah. Khalifah Ali telah berjanji untuk menerima perwasitan dan tidak menyetujui meneruskan peperangan. Lalu akhir dari keputusan tahkim tersebut ialah mengusulkan kepada kaum muslimin untuk memberhentikan masing-masing dari Ali dan Mu’awiyah, kemudian diserahkan kepada kaum muslimin untuk mencari penggantinya, ide dikemukan oleh Abu Musa dan disetejui Amar. Dan akhirnya Abu Musa mema’zulkan Ali dari jabatannya dan diumumkan Mu’awiyahlah yang ditetapkan sebagai khalifah. Karena hal tersebut 12.000 orang tentara Ali meninggalkannya dan membuat kerusakan-kerusakan terutama di Irak. Kemudian golongan ini disebut sebagai golongan khawarij.
Peristiwa tahkim menguntungkan Mu’awiyah tetapi keuntungan itu bukanlah karena diumumkan pemberhentain Ali dan penetapan Mu’awiyah, melainkan peristiwa tersebut menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Kaum khawarij mulai mengadakan pemberontakan dan meninggalkan Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan kaum kharijlah yang memaksa Ali untuk mengadakan tahkim. Selain meninggalkan Ali, mereka malahan berani pula mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa, dan melakukan penganiyaan-penganiayaan dan pelanggaran-pelanggaran di Irak. Maka cara menghantikannya Ali memerangi mereka, dalam hal ternyata Mu’awiyah mengambil kesempatan ini untuk merebut Mesir. Demikianlah kekuasaan Mu’awiyah makin terus-menerus bertambah[10].
Adapun amul jama’ah terjadi di mana peristiwa Ali terbunuh lalu Hasan bin Ali diangkat jadi khalifah oleh golongan syiah akan tetapi karena serangan kaum munafik akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah. Setelah terjadinya perdamaian anatara Hasan dan Mu’awiyah dan Hasan mengumunkan patuh dan tunduk terhadap Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah di bai’at menjadi khalifah, Hasan dan Husein pun juga turut hadir dan membai’atnya pula bersama-sama orang-orang banyak, dan tahun disaat itulah disebut amul jama’ah.
5.      Kebijaksanaan Mu’awiyah
Setelah mengukuhkan kedudukannya dalam negeri, Mu’awiyah menganut kebijakan luar negeri yang kuat. Perluasan kekuasaan muslim yang besar terjadi dibawah kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi kemengan-kemenangan. Menurut kata-kata Prof. Hitty, “pemerintahan Muawiyah tidak hanya membuktikan konsolidasi, tetapi perluasan wilayah kekhalifahan.
Pada masa kekhalifahannya, Mu’awiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah sampai kedaerah-daerah pinggiran anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya. Dengan demikian bias dikatakan Mu’awiyah tidak hanya menjadi bapak suatu dinasti, tetapi juga pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar. Diantara kebijaksanaan Mu’awiyah ialah pengepungan konstantinopel dan pencalonan anaknya yaitu Yazid oleh Mu’awiyah yang akhirnya terjadi penolakan terhadap Yazid.
-          Pengepungan Konstantinopel
Peristiwa ini sangat mencolok saat di pemerintahan Mu’awiyah. Suatu kesatuan ekspedisi di bawah pimpinan Yazid berlayar menuju Dardanela dan berlabuh disana. Selama enam tahun Umat Islam mengepung Konstantinopel dan selama enam tahun juga bangsa Romawi dan benteng kota yang tidak bisa direbut membuat mereka bertahan. Karena ditekan dari mana-mana, Mu’awiyah memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan terrsebut[11].
-          Penolakan Yazid
Pada tahun 679 M, Mu’awiyah mencalonkan anaknya, Yazid sebagai penerusnya. Tentu saja hal merupakan penyimpangan sebab Mu’awiyah tidak menepati isi perjanjian dengan Hasan bin Ali ketika naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Mu’awiyah diserahkan kepada pemilihan Umat Islam[12]. Barangkali beranggapan bahwa tidak adanya aturan penggantian yang pasti bagi kekhalifahan dapat menjerumuskan negeri itu kedalam perang saudara yang kacau atas kematian setiap khalifah. Akan tetapi, hal ini tidak mempunyai dasar sekuat keinginannya untuk mempertahankan kekhalifahan di dalam garis keturunannya. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein binAli dan Abdullah bin Zubair, bersamaan dengan itu Syi’ah (para pengikut Ali.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
Nama “Daulah Umawiyah” itu berasal dari nama “Umayah ibnu Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimipin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman jahiliyah. Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yaitu Hasyim Abdi Manaf, persoalannya tentang merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam masyarakat dan bangsanya. Dan ia memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di jaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat. Ketiga hal ini merupakan syarat untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan.
Mu’wiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijriah, dan masuk Islam pada hari penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah lainnya. Mu’awiyah merupakan keturunan yang ketiga dari Umayyah. Karena Umayyah beranak Harb, Harb beranak Shakhr yang bergelar Abu Sufyan dan Abu Sufyan beranak Mu’awiyah. Dialah kepala kaum Quraisy yang terkemuka ketika melawan Nabi Muhammad SAW, juga menjadi kepala perangkatan perniagaan dan juga pernah menjadi utusan berembuk dengan Nabi di Madinah. Apalagi Nabi Muhammad adalah menatunya, sebab anaknya Ummu Habibah menjadi isteri Nabi. Abu Sufyan memeluk agama Islam ketika Rasulullah menaklukan Makkah. Peperangan Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Mu’wiyah. Ali dan pengikut-pengikutnya mula-mulanya mengira bahwa peperangan pertama dan itupun akan menjadi peperangan yang penghabisan maka haruslah berhasil untuk menundukkan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan yang didukung penduduk Syam. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Tahkim ialah kesepakatan antara kedua belah pihak dengan dua orang penengah. Setelah pertempuran berhenti, maka mereka bertahkim. Kedua hakim tersebut berkumpul dan berunding membahas sebab-musabab perselisihan, sehingga didapat satu jalan untuk menyelesaikannya. Mu’awiyah mengangkat sahabatnya ‘Amar bin ‘Ash yang cerdik untuk menjadi penengahnya. Sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-‘Asy’ari, yang bukan tandingannya Amar yang lihai dan licik. Kedua penengah tersebut masing-masing dibantu oleh 400 orang, dan seandainya para penengah itu tidak bisa menyelesaikan persolan, masalah itu akan diputuskan dengan suara mayoritas.
Pada masa kekhalifahannya, Mu’awiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah sampai kedaerah-daerah pinggiran anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya. Dengan demikian bias dikatakan Mu’awiyah tidak hanya menjadi bapak suatu dinasti, tetapi juga pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar. Diantara kebijaksanaan Mu’awiyah ialah pengepungan konstantinopel dan pencalonan anaknya yaitu Yazid oleh Mu’awiyah yang akhirnya terjadi penolakan terhadap Yazid.
.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002)
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-1,
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-2
Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), Ct. ke-4
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), Ct. ke-4


[1] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), Ct. ke-4, h. 78
[2] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-2, h. 21
[3] Ibid, h. 24.
[4]Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), Ct. ke-4, h. 79S
[5] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-2, h. 26
[6] Ibid, h. 39-40
[7] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-1, h.  257
[8] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), Ct. ke-4, h. 197
[9] Ibid, h. 198
[10] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,  (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-1, h. 261
[11] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), Ct. ke-4, h. 206
[12] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar