BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kebudayan Islam kita mengenal mungkin mengenal
dinasti Umayyah. Dinasti ini sangat penting dalam perannya menyebarkan agama
Islam. Nah sekarang kami akan membahas tentang Dinasti Umayyah ini yaitu:
1.
Asal-usul
Bani Umayyah
2.
Profil
Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3.
Perang
Shiffin
4.
Tahkim
dan Amul Jama’ah
5.
Kebijaksanaan
Mu’awiyah
Kami mencari informasi tentang hal ini dengan cara membaca buku
yang bersangkutan dengan pembahasan dan sambil membanding-bandingkan dengan
buku lain.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Asal-usul Bani Umayah
Nama
“Daulah Umawiyah” itu berasal dari nama “Umayah ibnu Abdi Syams ibnu ‘Abdi
Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimipin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman
jahiliyah. Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yaitu Hasyim Abdi Manaf,
persoalannya tentang merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam masyarakat dan
bangsanya. Dan ia memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan untuk berkuasa di
jaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga bangsawan, serta mempunyai
cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang terhormat dalam masyarakat.
Ketiga hal ini merupakan syarat untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan[1].
Sesudah
datang Agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umayah dengan
saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, karena persaingan-persaingan dalam
merebut kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang nyata. Bani Umayah tegas
menentang Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam, tapi sebaliknya Bani
Hasyim justru menyokong dan melindungi Rasulullah, baik mereka yang sudah masuk
Islam ataupun yang belum. Perlu kita ketahui bahwa dalam perang Badr pusat
kekuatan Quraisy ialah pada Bani Abdi Syams. Abu Sufyan-lah pemilik iringan
unta-unta yang membawa barang dagangan dari negeri Syam ke Makkah.
Bani
Umayah barulah masuk Agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain,
selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW bersama beribu-ribu
pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu
masuk ke kota Makkah. Dengan demikian teranglah bahwa Bani Umayyah itu adalah
orang-orang yang terakhir masuk Agama Islam, dan juga merupakan musuh-musuh
yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya.
Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat
kepahlawanan yang jarang tandingnya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi
keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap Agama
Islam sebelum mereka memasukinya. Merek benar-benar telah mencapai prestasi
yang baik sekali dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang
murtad dan orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, serta orang-orang yang enggan
memabayar zakat. Perlu kita ketahui bahwa Abu Sufyan merupakan pemimpin Bani
Umayyah, dan ia kehilangan sebelah matanya ketika ia ikut berperang
bersama-sama Rasulullah dalam berbagai peperangan. Dan ia kemudian kehilangan
matanyanya yang sebelah lagi, ketika ia ikut berperang dalam pertempuran di
Yarmuk di bawah pimpinan puteranya sendiri, Yazid ibnu Abi Sufyan, dan isteri
Abi Sufyan dan ibu Mu’awiyah[2].
Bani
Umayyah pada hakekatnya menginginkan jabatan khalifah, tapi belum ada mempunyai
harapan untuk mencapai cita-cita tersebut di masa khalifah Abu Bakar dan Umar.
Setelah Umar tertikam, lalu menyerahkan kepada 6 orang sahabat tentang
pergantian khlifah maka saat ini Bnai Umayyah punya harapan besar. Lalu mereka
menyokong terang-terangan pencalonan Utsman sebagai Khalifah dan akhirnya
Utsman terpilih. Ada suatu riwayat mengatakan bahwa Khalifah Umar mengangkat
Mu’awiyah menjadi Gubernur di negeri Syam. Dan pada saat Khalifah Utsman
terbunuh, Mua’wiyah masih memegang kekuasaan disana. Hal inilah yang
memungkinkan baginya untuk dapat berjuan terus untuk melawan Ali, sampai
akhirnya Ali dapat dikalahkannya. Dengan demikian berpindahlah jabatan khalifah
secara resmi kepada Mu’awiyah. Keluarga Bani Umayyah terdiri dari dua cabang,
merekalah yang memegang jabatan khalifah itu. Cabang pertama ialah keluarga
Harb ibnu Umayyah, dan cabang kedua adalah keluarga Abul ‘Ash ibnu Umayyah.
Tapi kebanyakan khalifah-khalifah Bani Umayyah berasal dari yang kedua[3].
2.
Profil Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Mu’wiyah
dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijriah, dan masuk Islam pada hari
penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah lainnya. Mu’awiyah
merupakan keturunan yang ketiga dari Umayyah. Karena Umayyah beranak Harb, Harb
beranak Shakhr yang bergelar Abu Sufyan dan Abu Sufyan beranak Mu’awiyah.
Dialah kepala kaum Quraisy yang terkemuka ketika melawan Nabi Muhammad SAW,
juga menjadi kepala perangkatan perniagaan dan juga pernah menjadi utusan
berembuk dengan Nabi di Madinah. Apalagi Nabi Muhammad adalah menatunya, sebab
anaknya Ummu Habibah menjadi isteri Nabi. Abu Sufyan memeluk agama Islam ketika
Rasulullah menaklukan Makkah[4].
Mu’awiyah
banyak meriwayatkan hadits, baik yang langsung dari Rasulullah maupun sahabat
terkemuka, dan dari saudara perempuannya, Habibah binti Abi Sufyan isteri
Rasulullah, dan dari Abdul ibnu Abbas, Sa’di ibnul Musaiyab, dan lain-lainnya.
Yazid ibnu Abu Sufyan diangkat menjadi panglima dari salah satu empat divisi,
yang dikerahkan khalifah Abu Bakar untuk menakluka daerah Syam.
Tujuannya
adalah kota Damaskus (Damsyik). Dan ketika khalifah Abu Bakar memgirimkan bala
bantuan untuk memperkuat pasukan-pasukan itu, Mu’awiyahlah yang memimpin
tentara bantuan yang dikirimkan untuk Yazid. Mu’awoyah bertempur dibawah
pimpinan saudaranya. Dan ia memimpin lascar islam yang menaklukan kota Sidon,
Beirut dan lain-lainnya yang terletak di pantai Damaskus. Dan setelah kaum
muslimin menang dan saat itu masa pemerintahan Umar, lalu Umar mengangkat Yazid
jadi Gubernur daerah Damaskus (Damsyik), dan Mu’awiyah jadi Gubernur Yordania.
Yazid meninngal dunia karena penyakit pes yang berjangkit di kota Amuas, lalu
khalifah Umar menyatukan Damaskus dengan Yordania dalam kekuasaan Mu’awiyah.
Mu’awiyah adalah seorang pemimpin yang berpribadi kuat dan amat jujur, serta
ahli lapangan politik.
Inilah
yang menyebabkan khalifah Umar suka padanya. Dan dimasa khalifah Utsman daerah
Syam diserahkan kembali pada Mu’awiyah. Dia sendirilah yang mengangkat dan
memberhentikan pejabat-pejabat pemerintahannya. Mu’awiyah menjadi Gubernur
selama 20 tahun, dan sesudah itu ia menjadi khalifah selama 20 tahun pula[5].
Masa
pemerintahan Utsman yang panjang, memungkinkan Mu’awiyah mempersiapkan dirinya
untuk meletakkan dasar-dasar mendirikan kerajaannya. Setelah Utsman terbunuh
lalu Ali diangkat menjadi khalifah, dan datanglah masa Mu’awiyah untuk
melakukan perannya. Dengan adanya persiapan yang sempurna itu Mu’awiyah
menantang pengangkatan Ali menjadi khalifah. Dengan alas an bahwa ia berhak
menuntut bela darah Utsman yang tealh tertumpah, dan Ali lalai membela Utsman,
atau sebenarnya telah melindungi pembunuh-pembunuhnya. Sejak itu mulailah
terjadi pertempuran-pertempuran, yang terpenting adalah pertempuran Shiffin,
dimana Mu’awiyah mengalami kekalahan dimedan perang, tetapi ia menang dalam
bidang pengalaman dan politik. Setelah peperangan shiffin terjadilah peperangan
antara Mu’awiyah dan Ali yang Ali merasa terpojok karena selain harus melawan
Mu’awiyah juga harus melawan kaum khawarij dan perlawanan pengikutnya di Iraq
yang bersikap murtad dan munafik kepadanya, serta enggan memberikan pertolongan
kepadanya. Di fihak lain Mu’awiyah makin ditaati dan bergengsi dengan dunia
politiknya. Ali barulah terlepas dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya
setelah ditikam Ibnu Muljim dan membuatnya membawa umur, lalu kekuasaan beralih
kepada Mu’awiyah. Setelah terbunuhnya Ali lalu ada dorongan kuat terhadap Hasan
bin Ali bin Abi Thalib oleh kaum Syiah agar ia menjadi khalifah, tetapi ia
mendapatkan serangan dari kaum munafik. Dan akhirnya ia menyerahkan
kepemimpinan kepada Mu’awiyah dengan beberapa syarat yaitu:
1.
Agar
Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Iraq
2.
Menjamin
keamanan, dan mema’afkan kesalahan-kesalahan mereka
3.
Agar
pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukan kepadanya dan diberikan tiap-tiap tahun.
4.
Agar
Mu’awiyah membayar saudaranya, yaitu Husein, 2 juta dirham
5.
Pemberian
kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian Bani Abdi Syams.
Bagi Mu’awiyah syarat-syarat itu tidak perlu dipertimbangkan, asal
Hasan bersedia mengundurkan diri.
Perdamaian pun berlangsung atas dasar ini, Hasan lalu mengundurkan diri dan
menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah dan ia mengumumkan bahwa ia taat
dan patuh kepada Mu’awiyah. Mu’awiyah itu memiliki sifat dan tegas, dan
kadang-kadang menunjukkan sifat toleransi dan lapang hati.
Dimasa pemerintahannya, Mu’awiyah telah menciptakan hal-hal baru yang
blum pernah diadakan orang sebelum itu. Dialah yang mula-mula memerintahkan
supaya prajurit-prajurit mengangkat senjata tembok bila mereka berada
dihadapnnya. Dan dia pulalah khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan
“anjung” dalam masjid tempatnya shalat. Untuk menjaga keamanan dirinya dari
serangan musuh-musuhnya ketika ia sedang shalat. Kekuatirannya disebabkan
khalifah Umar dan Ali dulunya dibunuh orang ketika masing-masing sedang shalat.
Selain itu ia juga orang yang mula-mula mendirikan “Kantor cap (percetakan mata
uang)”. Jadi pada masa pemerintahan Mu’awiyah adalah yang paling cemerlang
diantara masa-masa Khilafah Islamiyah seluruhnya, dimana keamanan dalam negeri
begitu baiknya, dan segala yang bersikap permusuhan terhadapnya telah dapat dibasmi,
berkat moral Mu’awiyah yang tinggi, ataupun karena hadiah-hadiah, dan pedangnya
yang tajam. Masa pemerintahannya adalah masa kemakmuran dan masa kekayaan yang
berlimpah-limpah, begitu juga tentang hubungan luar negeri[6].
3.
Perang Shiffin
Peperangan
Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Mu’wiyah. Ali dan pengikut-pengikutnya
mula-mulanya mengira bahwa peperangan pertama dan itupun akan menjadi
peperangan yang penghabisan maka haruslah berhasil untuk menundukkan Mu’awiyah
ibnu Abi Sufyan yang didukung penduduk Syam. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan
paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh
laskarnya.
Thalhah
dan Zubair sebelumnya tidak dipandang musuh oleh Ali, lebih-lebih sesudah keduanya memberiakn
bai’ah dan sumpah setianya kepada Ali. Begitu pula tidak seorang juga menyangka
bahwa kebencian Aisyah terhadap Ali akan samapi demikian rupa sehingga Aisyah
menceburkan diri dalam kancah peperangan memimpin bala tentara melawan Ali.
Akibatnya perlengkapan untuk melawan Mu’awiyah menjadi dibelokkan karena
perkembangan situasi yang akhirnya terjadilah perang Jamal. Peperangan
Jamal mengakibatkan gugurnya ribuan
tentara Ali, yang berarti dia kehilangan
tenaga uang baik. Sementara itu Mu’awiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi
uang kepada pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat[7].
Akhirnya
Mu’awiyah yang cerdik dengan memanfaatkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
untuk menjatuhkan Ali di mata Umat Islam. Dia membangkitkan kemarahan rakyat
dengan memperlihatkan di dalam Masjid Damaskus barang-barang peniggalan
khalifah Utsman beserta potongan jari Bibi Naila, istri khalifah Utsman, yang
terpotong ketika berusaha menyelamatkan suaminya. Dia menuntut Ali untuk
menemukan dan menghukum para pembunuhnya kalau tidak, dia harus menerima
sebagai pembunuhnya dan menurut Mu’awiyah juga bahwa Ali telah memberi
perlindungan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman.
Akan
tetapi Ali masih juga memperlihatkan kesukaanya kepada perdamaian. Berkali-kali
dikirimnya surat dan diutusnya delegasi kepada Mu’awiyah, meminta agar
Mu’awiyah bersatu dengannya. Tetapi, Mu’awiyah tidak mendengarkan. Tak mudah
Mu’awiyah melepaskan kekuasaan yang ada ditangannya. Demikian Mu’awiyah
memperkuat penolakannya terhadap Ali sebagai khalifah dan menetang perintahnya
untuk meletakkan jabatan. Pertempuran terjadi antara keduanya beberapa hari
lamanya. Khalifah Ali dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan semangat
dan kekuatan laskarnya. Khalifah Ali bergerak dari Kufa memimpin 50.000 tentara
untuk menumpas pemberontakan Mu’awiyah yang maju dengan tentara yang besar
untuk menghadapi tentara khalifah Ali. Kedua pasukan itu berhadapan di medan
Shiffin. Khalifah Ali mau menghindari pertumpahan darah umat Islam dan mau
menyelesaikan perselisihan dengan damai. Tapi Mu’awiyah menolak lalu Khalifah
Ali mengusulkan suatu perang tanding, karena usaha penyelesaian secara damai
menemui kegagalan, pertempuran pun meletus. Pada perang shiffin kedua,
keberanian dan kepemimpinan Ali membersihkan medan shiffin dari pasukan musuh.
Sebanyak 7.000 orang Islam gugur dalam pertempuran karena menghadapi kekalahan
yang luar biasa, Mu’awiyah yang cerdik, atas nasihat sekutunya yang cerdik Amar
bin ‘Ash, mengikatkan al-Qur’an pada ujung tombak dengan demikian agar
persoalan diselesaikan menurut al-Qur’an. Ali mengerti kalau itu hanya tipu
daya dan ingin melanjutkan pertempuran, akan tetapi tentaranya menuntut agar
menghentikan pertempuran. Oleh karena itu, peperangan berhenti dan Mu’awiyah terhindar dari kehancuran. Maka terjadilah
peristiwa yang disebut tahkim[8].
4.
Tahkim dan Ahlul Jama’ah
Tahkim
ialah kesepakatan antara kedua belah pihak dengan dua orang penengah. Setelah
pertempuran berhenti, maka mereka bertahkim. Kedua hakim tersebut berkumpul dan
berunding membahas sebab-musabab perselisihan, sehingga didapat satu jalan
untuk menyelesaikannya. Mu’awiyah mengangkat sahabatnya ‘Amar bin ‘Ash yang
cerdik untuk menjadi penengahnya. Sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa
Al-‘Asy’ari, yang bukan tandingannya Amar yang lihai dan licik. Kedua penengah
tersebut masing-masing dibantu oleh 400 orang, dan seandainya para penengah itu
tidak bisa menyelesaikan persolan, masalah itu akan diputuskan dengan suara
mayoritas[9].
Kedua
hakim ini berkumpul pada bulan Ramadhan tahun 34H. sesungguhnya tak terdapat
keseimbangan dalam pertahkiman ini. ‘Amar unggul dalam mempergunakan tipu
muslihatnya, tetapi Abu Musa Al’Asy’ari adalah seorang yang baik hati. Lurus
dan serba mudah. ‘Amar amat erat pertaliannya dengan Mu’awiyah sedangkan Abu
Musa tidak ada sangkut pautnya dengan nasib Ali.
Cukup
aneh, tentara Ali yang mengusulkan perselisihan dengan perwasitan, sekarang
perwasitan oleh manusia itu sebagai dosa. Mereka berkata perwasitan itu
hanyalah milik Allah. Khalifah Ali telah berjanji untuk menerima perwasitan dan
tidak menyetujui meneruskan peperangan. Lalu akhir dari keputusan tahkim
tersebut ialah mengusulkan kepada kaum muslimin untuk memberhentikan
masing-masing dari Ali dan Mu’awiyah, kemudian diserahkan kepada kaum muslimin
untuk mencari penggantinya, ide dikemukan oleh Abu Musa dan disetejui Amar. Dan
akhirnya Abu Musa mema’zulkan Ali dari jabatannya dan diumumkan Mu’awiyahlah
yang ditetapkan sebagai khalifah. Karena hal tersebut 12.000 orang tentara Ali
meninggalkannya dan membuat kerusakan-kerusakan terutama di Irak. Kemudian
golongan ini disebut sebagai golongan khawarij.
Peristiwa
tahkim menguntungkan Mu’awiyah tetapi keuntungan itu bukanlah karena diumumkan
pemberhentain Ali dan penetapan Mu’awiyah, melainkan peristiwa tersebut
menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Kaum khawarij mulai mengadakan pemberontakan
dan meninggalkan Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan
kaum kharijlah yang memaksa Ali untuk mengadakan tahkim. Selain meninggalkan
Ali, mereka malahan berani pula mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa, dan
melakukan penganiyaan-penganiayaan dan pelanggaran-pelanggaran di Irak. Maka
cara menghantikannya Ali memerangi mereka, dalam hal ternyata Mu’awiyah
mengambil kesempatan ini untuk merebut Mesir. Demikianlah kekuasaan Mu’awiyah
makin terus-menerus bertambah[10].
Adapun
amul jama’ah terjadi di mana peristiwa Ali terbunuh lalu Hasan bin Ali diangkat
jadi khalifah oleh golongan syiah akan tetapi karena serangan kaum munafik
akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah. Setelah terjadinya
perdamaian anatara Hasan dan Mu’awiyah dan Hasan mengumunkan patuh dan tunduk
terhadap Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah di bai’at menjadi khalifah, Hasan dan Husein
pun juga turut hadir dan membai’atnya pula bersama-sama orang-orang banyak, dan
tahun disaat itulah disebut amul jama’ah.
5.
Kebijaksanaan Mu’awiyah
Setelah
mengukuhkan kedudukannya dalam negeri, Mu’awiyah menganut kebijakan luar negeri
yang kuat. Perluasan kekuasaan muslim yang besar terjadi dibawah
kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi kemengan-kemenangan. Menurut
kata-kata Prof. Hitty, “pemerintahan Muawiyah tidak hanya membuktikan
konsolidasi, tetapi perluasan wilayah kekhalifahan.
Pada
masa kekhalifahannya, Mu’awiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah
sampai kedaerah-daerah pinggiran anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya.
Dengan demikian bias dikatakan Mu’awiyah tidak hanya menjadi bapak suatu
dinasti, tetapi juga pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar. Diantara
kebijaksanaan Mu’awiyah ialah pengepungan konstantinopel dan pencalonan anaknya
yaitu Yazid oleh Mu’awiyah yang akhirnya terjadi penolakan terhadap Yazid.
-
Pengepungan
Konstantinopel
Peristiwa
ini sangat mencolok saat di pemerintahan Mu’awiyah. Suatu kesatuan ekspedisi di
bawah pimpinan Yazid berlayar menuju Dardanela dan berlabuh disana. Selama enam
tahun Umat Islam mengepung Konstantinopel dan selama enam tahun juga bangsa
Romawi dan benteng kota yang tidak bisa direbut membuat mereka bertahan. Karena
ditekan dari mana-mana, Mu’awiyah memerintahkan penarikan pasukan dari
pengepungan terrsebut[11].
-
Penolakan
Yazid
Pada
tahun 679 M, Mu’awiyah mencalonkan anaknya, Yazid sebagai penerusnya. Tentu
saja hal merupakan penyimpangan sebab Mu’awiyah tidak menepati isi perjanjian
dengan Hasan bin Ali ketika naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan
penggantian pemimpin setelah Mu’awiyah diserahkan kepada pemilihan Umat Islam[12]. Barangkali
beranggapan bahwa tidak adanya aturan penggantian yang pasti bagi kekhalifahan
dapat menjerumuskan negeri itu kedalam perang saudara yang kacau atas kematian
setiap khalifah. Akan tetapi, hal ini tidak mempunyai dasar sekuat keinginannya
untuk mempertahankan kekhalifahan di dalam garis keturunannya. Ketika Yazid
naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia
kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya
untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua
orang terpaksa tunduk, kecuali Husein binAli dan Abdullah bin Zubair, bersamaan
dengan itu Syi’ah (para pengikut Ali.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN:
Nama “Daulah Umawiyah” itu berasal dari nama “Umayah ibnu Abdi
Syams ibnu ‘Abdi Manaf”, yaitu salah seorang dari pemimipin-pemimpin kabilah
Quraisy dizaman jahiliyah. Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yaitu Hasyim
Abdi Manaf, persoalannya tentang merebut kepemimpinan dan kehormatan dalam
masyarakat dan bangsanya. Dan ia memiliki cukup unsur-unsur yang diperlukan
untuk berkuasa di jaman jahiliyah itu, karena ia berasal dari keluarga
bangsawan, serta mempunyai cukup kekayaan dan sepuluh orang putera-putera yang
terhormat dalam masyarakat. Ketiga hal ini merupakan syarat untuk memperoleh
kehormatan dan kekuasaan.
Mu’wiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijriah, dan masuk
Islam pada hari penaklukan kota Makkah bersama-sama penduduk kota Makkah
lainnya. Mu’awiyah merupakan keturunan yang ketiga dari Umayyah. Karena Umayyah
beranak Harb, Harb beranak Shakhr yang bergelar Abu Sufyan dan Abu Sufyan
beranak Mu’awiyah. Dialah kepala kaum Quraisy yang terkemuka ketika melawan
Nabi Muhammad SAW, juga menjadi kepala perangkatan perniagaan dan juga pernah
menjadi utusan berembuk dengan Nabi di Madinah. Apalagi Nabi Muhammad adalah
menatunya, sebab anaknya Ummu Habibah menjadi isteri Nabi. Abu Sufyan memeluk
agama Islam ketika Rasulullah menaklukan Makkah. Peperangan Shiffin adalah
peperangan antara Ali dan Mu’wiyah. Ali dan pengikut-pengikutnya mula-mulanya
mengira bahwa peperangan pertama dan itupun akan menjadi peperangan yang
penghabisan maka haruslah berhasil untuk menundukkan Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
yang didukung penduduk Syam. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka
Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Tahkim ialah kesepakatan antara kedua belah pihak dengan dua orang
penengah. Setelah pertempuran berhenti, maka mereka bertahkim. Kedua hakim
tersebut berkumpul dan berunding membahas sebab-musabab perselisihan, sehingga
didapat satu jalan untuk menyelesaikannya. Mu’awiyah mengangkat sahabatnya
‘Amar bin ‘Ash yang cerdik untuk menjadi penengahnya. Sedangkan pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa Al-‘Asy’ari, yang bukan tandingannya Amar yang lihai dan
licik. Kedua penengah tersebut masing-masing dibantu oleh 400 orang, dan
seandainya para penengah itu tidak bisa menyelesaikan persolan, masalah itu
akan diputuskan dengan suara mayoritas.
Pada
masa kekhalifahannya, Mu’awiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah
sampai kedaerah-daerah pinggiran anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya.
Dengan demikian bias dikatakan Mu’awiyah tidak hanya menjadi bapak suatu
dinasti, tetapi juga pendiri kekhalifahan kedua setelah Umar. Diantara
kebijaksanaan Mu’awiyah ialah pengepungan konstantinopel dan pencalonan anaknya
yaitu Yazid oleh Mu’awiyah yang akhirnya terjadi penolakan terhadap Yazid.
.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2002)
Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid
ke-1,
Prof.
Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid
ke-2
Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,
1975), Ct. ke-4
Syed
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 1991), Ct. ke-4
[1] Prof. Dr.
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), Ct. ke-4, h.
78
[2] Prof. Dr. A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-2, h. 21
[3] Ibid, h. 24.
[4]Prof. Dr.
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), Ct. ke-4, h.
79S
[5] Prof. Dr. A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-2, h. 26
[6] Ibid, h. 39-40
[7] Prof. Dr. A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-1, h. 257
[8] Syed
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 1991), Ct. ke-4, h. 197
[9] Ibid, h. 198
[10] Prof. Dr. A.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
(Jakarta:Pustaka Al Husna Baru, 2008), jilid ke-1, h. 261
[11] Syed Mahmudunnasir,
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), Ct.
ke-4, h. 206
[12] Dr. Badri
Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar