Minggu, 08 Juli 2012

PROBLEMA KEAGAMAAN


BAB I
PENDAHULUAN
Agama merupakan keyakinan sebagian banyak orang, sebagin orang ada yang menganutnya dan adapula yang tidak maka mereka disebut atheis. Agama di dunia ini bermacam-macam nama dan tata cara beribadahnya. Agama ini adalah urusan yang menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Di dalam syarat beragama salah satunya adalah “beriman”. Iman merupakan unsur yang diperlukan karena seseorang tidak akan memeluk sebuah agama apabila idak didasari oleh iman atau percaya terhadap ajaran agama tersebut. Nah dalam makalah kami ini membahas tentang problema keimanan. Adapun ruang lingkup pembahasannya, yaitu:
A.    Pengertian
B.     Kualifikasi Keimanan
C.    Factor-faktor Penyebab Problema Keimanan
D.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
E.     Sikap Keagamaan yang Menyimpang
F.     Penyakit Agama
G.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dalam Beragama



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Iman adalah kepercayaan ketetapan hati, keteguhan batin, keseimbangan batin (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kpd Allah, nabi, kitab, dsb[1]. Iman juga berarti kepercayaan yang mereasap kedalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercmpur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari[2].
Adapun keimanan adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati dalam mempercayai sesuatu (dengan berkenaan agama pula).
B.     Kualifikasi Keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan Yang Verbalistik
Keimanan ini berkembang ditingkat usia sejak anak-anak, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimjulus-stimulus. Proses belajarnya persuasif dengan cara dicontohkan orang tua dan anak mengikutinya , terus apabila anak bisa dalam pengucapan kata-kata itu maka diberi hadiah sebagai imbalannya.
Meskipun berkembang ditingkat usia anak-anak tapi ada juga yang sampai dewasa mereka beriman tetap dalam fase ini. Sebenarnya fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata. Karena, seorang anak yang berada dalam fase ini dianggap telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya.
2.      Keimanan Yang Intelektualistik
Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alasan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup. Biasanya tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
3.      Keimanan Yang Demonstrative
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada hanya dalam bentuk kata-kata.  Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan  pengamalan agama disini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.
4.      Keimanan Yang Komprehensif Integrative
Tingkat ini adalah keimanan yang paling tinggi. Karena tingkat keimanan ketiga tipe diatas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan.
Jadi tingkat iman ini adalah merupakan perwujudan dari tiga tingkat diatas yang saling melengkapi.
C.    Factor-faktor Penyebab Problema Keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapat mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
 Selain hal-hal tersebut, dipengaruhi juga  anatara lain oleh:
1.      Kondisi Iman
2.      Kondisi Fisik atau Psikis
3.      Kultur Masyarakat (Lingkungan)[3]
D.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Secara umum sikap adalah rekasi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan hidup. Sikap terbentuk dari proses belajar dan pengalaman bukan bawaan dari lahir, serta tergantung pada objek tertentu.
Prof. Dr. Mar’at mengatakan bahwa Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian tetang sikap meskipun itu belum lengkap. Dari 13 pengertian itu lalu dirangkum 11 rumusan tentang sikap, yaitu:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang tersu-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitudes have referent).
3.      Sikap diperoleh dalm berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui naseha, teladan atau percakapan (attitudes are social learnings).
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (attitudes have readiness to respond).
5.      Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negative atau rau (attitudes are very intensive).
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes are very intensive).
7.      Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have a time dimension).
8.      Sikap dapat bersifat relative consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor).
9.      Sikap merupakan bagian konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are complex).
10.  Sikp mempunyai penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.  Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indicator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
Jadi sikap adalah predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen kognisi[4], afeksi[5] dan konasi. Dengan demikian sikap merupkan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks.
Adapun tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menenukan sikap seseorang terhadap suatu objek, baik yang berbentuk kongkret maupun objek yang abstrak. Komponen “kognisi” akan menjawab tentang apa yang difikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen “afeksi” dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang).
Sedangkan komponen “konasi” berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek. Jadi sikap yang ditampilkan seseorang itu merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu objek[6].
E.     Sikap Keagamaan yang Menyimpang
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada kelompok atau masyrakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas ysng mungkin berbeda dan bergerak secara continue dari positif melalui areal netral kearah negative. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikp tidak selalau berkonotasi buruk.
Akan tetapi biasanya sikap keagamaan yang menyimpang merupakan masalah pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negative dari tingkat yang terendah sehingga ke tingkat yan paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) sehingga ke sikap yang demostratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama[7].
F.     Penyakit Agama
Di dalam beragama ada tiga penyakit yang harus kita jauhi dan hindari, yaitu:
1.      Fanatisme
Sikap ini adalah sikap yang menonjolkan agamanya sendiri dengan kecenderungan menghina agama lain dan mengurangi hak hidupnya, fanatisme sering mengarah menuju dominasi politis dan cita-cita mendirikan agama.
Penyebab dari fanatisme agama adalah kompleks. Antara lain dapat disebutkan yaitu:
a)      Kurang mengenal agama lain karena hidup dalam daerah tertutup (misalnya Aceh, Flores).
b)      Pendidikan agama yang sempit dan defensip yang mencari-cari kejelekan dari agama lain.
c)       Rasa bangga yang berlebihan atas kejayaan agamanya sendiri dengan tidak melihat kekurangan-kekurangan diri.
d)     Rasa takut akan kemajuan agama lain dll.
2.      Takhayul
Adalah kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau acara tertentu, untuk mendapatkan bantuan dari Tuhan. Orang sebetulnya lebih percaya akan benda atau acara tertentu daripada Tuhan sendiri. Takhayul terutama merajalela di kalangan bangsa primitip, yaitu animisme. Manusia, hampir selalu dengan perantaraan seorang imam atau dukun, dengan acara-acara tertentu, seperti pengorbanan, persembahan, penyiksaan, bertapa, matiraga, berusaha mencegah pengaruh roh-roh jahat dan mendapat bantuan dari roh-roh baik.
Takhayul  berpengaruh juga antara orang-orang yang menganut agama monotheis, seperti katolik, Islam, Protestan, meskipun dalam bentuk lebih ringan.
3.      Fatalisme
Merupakan sikap mudah menyerah pada nasib. Sebab-sebabnya seringkali adalah kekurangan tenaga (nafkah minimal) dibantu oleh alasan-alasan religius. Nabi dianggap ditakdirkan oleh Tuhan.
Sikap ini mengakibatkan manusia kurang berusaha menentang sengsara, terlalu mudah menghibur diri dengan acara-acara keagamaan dan menantikan surga. Orang-orang fatalis mempunyai pandangan tentang Tuhan yang picik dan paham yang tidak realistis tentang dunia. Tuhan seakan-akan menakdirkan segala nasib buruk dan mereka hanya berdo’a untuk menghadapi itu (terlalu pasrah tanpa ada ikhtiar)[8].
G.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap dalam Beragama
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk  tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
Selain itu ada juga beberapa teori psikologi mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut antara lain teori stimulus dan respon, teori pertimbangan social, teori konsistensi dan teori fungsi. Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologi tersebut.
Teori Stimulus dan Respon yang memandang manusia sebagai organism menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variable yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Teori Pertimbangan Social melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu:
1.      Persepsi social
2.      Posisi social dan proses belajar social.
Sedangkan factor eksternal terdiri dari atas:
1.      Factor penguatan
2.      Komunikasi persuasive, dan
3.      Harapan yang diinginkan.
Jadi perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan social sebagai hasil interaksi factor internal dan eksternal.
Teori Konsistensi, menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan.
Menurut Teori Fungsi, perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar indvidu senantiasa mnyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannnya. Sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:
1.      Fungsi Instrumental
2.      Fungsi Pertahanan Diri
3.      Fungsi Penerima dan Pemberi Arti
4.      Fungsi Nilai Ekspresif[9]


BAB III
PENUTUP
Iman adalah kepercayaan ketetapan hati, keteguhan batin, keseimbangan batin (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kpd Allah, nabi, kitab, dsb. Empat tingkat keimanan, yaitu :
1.      Keimanan yang verbalistik
2.      Keimanan yang intelektualistik
3.      Keimanan yang demonstrative
4.      Keimanan yang komprehensif integrative
Lima hal yang dapat mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1.      Kontradiksi antara ilmu dan agama
2.      Akibat mempelajari agama lain
3.      Kesulitan membatasi kebebasan agama
4.      Masalah tujuan hidup
5.      Arti mati dan hidup sesudah mati
Selain hal-hal tersebut, dipengaruhi juga  anatara lain oleh:
1.      Kondisi Iman
2.      Kondisi Fisik atau Psikis
3.      Kultur Masyarakat (Lingkungan)
Sikap adalah rekasi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan hidup. Sikap terbentuk dari proses belajar dan pengalaman bukan bawaan dari lahir, serta tergantung pada objek tertentu.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-1,
H.M.Hafiz Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabya:Usaha Nasional,1991), Ct. ke-1,
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 1996), Ct. ke-1,
Franz Dahler, Masalah Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2002),  Ct. ke-19.
Yusuf Al-Qardhawi, Iman dan Kehidupan, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1993), Ct. ke-3.


[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-1, h. 345
[2]Yusuf Al-Qardhawi, Iman dan Kehidupan, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1993), Ct. ke-3, h. 3
[3]H.M.Hafiz Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabya:Usaha Nasional,1991), Ct. ke-1, h. 60
[4]Kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri
[5]Perasaan Dan Emosi Yg Lunak
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT. Grafindo Persada, 1996), Ct. ke-1, h. 187
[7]Ibid, h. 191
[8]Franz Dahler, Masalah Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2002),  Ct. ke-19, h. 5-10
[9]Jalaluddin, op.cit, h. 196-197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar