Minggu, 08 Juli 2012

Akhlak


BAB I
PENDAHULUAN

Segolongan orang ada yang berpendapat bahwa pengertian tentang baik dan buruk sama dengan pengertian hal-hal yang lainnya, ialah berdasarkan pengalaman. Dan ia tumbuh sebab kemajuan zaman, kecerdasan pikiran dan beberapa pengalaman. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai instink tetapi pengalamanlah yang dapat memberikan ketentuan hukum baik pada sebagian perbuatan  dan hukum buruk pada sebagian yang lain.
Sebenarnya kekuatan akhlak yang dapat mengenal baik dan buruk itu yang tak lain dan tak bukan kecuali pengalaman. Pemberian hukum pada suatu perbuatan timbul karena melihat maksud dan tujuan perbuatan kita dan sifat pendorongnya, bukan sebab melihat perbuatan yang ada pada diri kita. Sedangkan buah pengalaman yang kita dapat ialah sebuah perasaan dalam berakhlak.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian  Baik dan Buruk
Dari segi bahasa kata baik ialah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Menurut Ethik adalah sesuatu yang berharga untuk suatu tujuan[1]. Baik juga diartikan sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan[2].
Sedangkan kata buruk dalam bahasa Arab dikenal  dengan istilah Syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yanh tercela, lawan dari yang baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Jadi bisa diaktakan buruk itu ialah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia[3].
B.   Ukuran Baik dan Buruk
Bila kita hendak mengetahui panjang suatu bilik, kita akan memakai ukura-ukuran tertentu. Dan dengan ukuran meter umpamanya kita mengetahui ukuran bilik itu. Demikian juga ketika kita hendak mengetahui timbangan sesuatu. Maka dengan ukuran dan timbangan apakah kita dapat mengetahui baik dan buruk dari suatu perbuatan.
Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu, diantara mereka ada yang melihatnya baik. Bahkan ada diantara mereka yag menilai sesuatu pada waktu itu baik tapi mengatakan sesuatu itu buruk pada waktu lain. Maka dengan ukuran apakah, sehingga dengan suatu pandangan kita dapat memberi hukum baik atau buruk kepada suatu perbuatan?.
Para ahli pengetahuan ada yang mengemukakan beberapa hal yang merupakan ukuran-ukuran yang sangat terkenal, diantaranya ialah adat istiadat dan mazhab (paham) Hedonism.
1.     Adat Istiadat
Dalam segala tempat dan waktu, manusia pasti akan dipengaruhi oleh adat istiadat, baik dari golongan ataupun bangsanya, dikarenakan ia hidup dilingkungan suatu golongan atau bangsa tertentu. Dari melihat dan mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjauhi perbuatan lainnya, sehingga ia mengikuti kebanyakan perbuatan yang mereka lakukan atau mereka tinggalkan.
Tiap-tiap bangsa pasti memiliki adat istiadat yang berbeda-beda dan menganggap baik bila mengikutinya. Misalnya saja disuatu daerah ada keluarga yang mengenalkan kepada anak-anaknya tentang adat istiadat dan mengajarkan mereka tentang adat istiadat tersebut.. serta menanamkan kepada mereka bahwa adat istiadat itu membawa kesucian, sehingga apabila ada yang melanggarnya sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.
Mengapa perintah-perintah adat istiadat sangat mudah dilakukan dan larangan-larangannya dijauhi?. Ini semua dilakukan  karena beberapa alas an diataranya ialah :
a.     Pendapat yang sangat umum yaitu, mereka melihat adat istiadat suatu bangsa dan menggapnya bagus atau baik, sehingga semakin lama penilaian itu melekat pada dirinya dan ketika ada orang yang melanggar atau menyalahinya dianggap sebagai orang yang jahat dan buruk.
b.     Adat istiadat bersifat turun temurun dan ada hikayat-hikayat tertentu yang menganggap bahwa syetan akan membalas dendamnya kepada orang-orang yang tidak menjalankan serta menyalahi  aturan adat, dan malaikat akan member pahala bagi yang mengikutinya.
Pada suatu waktu orang-orang berpendapat bahwa yang baik itu adalah yang sesuai dengan adat istiadat, dan yang buruk itu ialah yang menyalahi adat istiadat. Pada masa ini banyak orang yang meyakini hal tersebut, bahkan orang-orang umum diluar adat istiadat pun berpendapat serupa. Mereka berbuat sesuai dengan adat orang yang mereka anggap benar. Bahkan mereka juga menjauhi apa yang dijauhi kaum tersebut, karena kaum itu tidak melakukannya.  Sehingga ukuran baik dan buruk menurut mereka adalah adat istiadat golongannya.
Jika kita melihat orang umum sedang sakit, tidak mengundang dokter untuk mengobatinya, karena tidak ada dalam aturan adatnya. Akan tetapi ketika salah seorang meninggal dunia, maka mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan banyak uang untuk mengadakan hari peringatan. Karena bila ia tidak melakukannya, maka ia dianggap orang yang menyalahi adat istiadatnya.
Akan tetapi dengan penyelidikan yang seksama, teranglah bagi kita bahwa adat istiadat itu tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran dan pertimbangan, karena sebagian dari perintah-perintahnya tidak masuk akal dan setengah  merugikan. Dan banyak perbuatan yang benar-benar salah dalam pandangan kita tetapi mereka melakukannya seperti menanam anak perempuan hidup-hidup yang dilakukan oleh sebagian bangsa arab pada zaman jahiliyah.  Mereka menganggap perbuatan itu benar, tidak tercela, dan tidak salah, seperti yang tercantum dalam surah An-Nahl ayat 58-59.
Setelah datang agama islam, maka ia mencegah mereka dari adat istiadat itu dan menjelaskan aka kesalahannya.
Pada bangsa Romawi seorang ayah berhak untuk mematikan dan menghidupkan anak-anaknya, serta ditengah-tengah Afrika seseorang dari kita tidak akan nyaman berjalan diantara penduduknya karena bagi mereka orang asing tidak berhak berjalan ditengah-tengah mereka. Bahkan mereka tidak menggap membunuh orang tersebut adalah perbuatan yang salah. Karena tidaklah wajib bagi mereka untuk menjaga hidup serta kehidupan orang lain.
Pada masa sekarang ini kita tidak dapat membenarkan pendapat adar istiadat yang seperti itu.. dan bila adat istiadat tersebut banyak salahnya, maka tidaklah tepat untuk dijadikan ukuran perbuatan baik dan buruk bagi perbuatan kita.
Demikian pula jika manusia berpegang pada adat istiadat lama ini, maka dunia tidak akan maju, karena kemajuan dunia itu akan tercapai ketika ada golongan yang suka menunjukkan kesalahan kaumnya, memppunyai keberanian untuk menyalahi adat lama tersebut serta mengajak kepada kebenaran. Meskipun awalnya mereka akan menghadapi penderitaan, tetapi akhirnya akan tersebarlah fikirannya dan banyak pengikutnya, sehingga barang baru yang benar menempati barang lama yang salah.
Berpegang kepada istiadat yang tidak benar sebenarnya juga memiliki faedah, sebab ada juga orang yang tidak mau melanggar adat istiadat yang baik, dan banyak pula orang yang tidak mau mencuri dan minum minuman keras karena adatnya tidak mengijinkannya serta takut dicemooh oleh golongannya.
2.     Mazhab (paham) Hedonisme
Setelah ahli-ahli filsafat menyelidiki ukuran baik dan buruk secara ilmu pengetahuan, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk itu adalah bahagia. Bahagia itu adalah tujuan akhir dari hidup manusia. Mereka mengartikan bahagia dengan kelezatan dan sepi dari kepedihan. Kelezatan bagi mereka adalah ukuran perbuatan, maka perbuatan yang mengandung kebahagian itu baik dan yang mengandung kepedihan itu buruk.
Mazhab (paham) Hedonisme itu tidak mengatakan bahwa manusia itu hendaknya mencari kelezatan saja, tetapi mereka mengatakan hendaknya manusia mencari sebesar-besarnya kelezatan, dan apabila ia disuruh memilih diantara beberapa perbuatan, wajib ia memilih yang paling besar kelezatannya.
Mereka yang mengikuti paham  ini dibagi menjadi 2, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ukuran itu ialah kelezatan diri orang yang berbuat, ini disebut “paham Egoistic Hedonism” dan ada juga  yang mengatakan bahwa ukuran  iut ialah kelezatan  segala makhluk dan paham ini dinamakan “Universalistic Hedonism atau Utilitarianism”.[4]
1.     Paham Egoistic Hedonism
Paham ini menyatakan bahwa manusia itu hendaknya mencari sebesar-besarnya kelezatan (kebahagian) untuk dirinya dan wajib menghadapkan segala perbuatannya kearah yang menghasilkan kebahagiaan tersebut.
Bagi paham ini bila seseorang bingung dengan dua perbuatan, hendaklah ia mengukur perbuatan itu, dengan cara menghitung banyak atau sedikitnya kelezatan dan kepedihan yang terkandung didalamnya. Bila kelezatan yang banyak berarti baiklah ia, jika kepedihan yang banyak berarti buruklah ia, dan kalau sama antara keduanya maka ia merdeka untuk memilihnya.
Pengikut ini mewajibkan setiap manusia untuk menyelidiki apa yang mendatangkan kelezatan dan kepedihan, serta perbuatan apa yang membawanya kepada arah tersebut. Dan perbuatan yang membawa kearah tersebut ialah baik.
Pemimpin paham ini yang paling besar ialah Epicurus. Epicurus ialah seorang ahli filsafat Yunani yang hidup pada tahun 341-270 sebelum Masehi. Dia mendirika sekolah pada tahun 306 SM, dan berdiri terus sampai lebih 6 abad. Ajaran-ajarannya terdiri dari Mantiq, Alam, dan Akhlak. Yang kami perhatikan disini ialah penyelidikannya tentang akhlak, dan kakmi ringkaskan pendapatannya seperti dibawah ini :
a.     Epicurus berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain dan tidak bukan kecuali berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.
b.     Golongan Epicurus berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak bergantung kepada banyaknya kebutuhan, karena banyaknya kebutuhan hanyalah mempersulit hidup, Epicurus pun hidup sederhana, sehingga ia  mengajak pengikut-pengikutnya untuk mengikuti cara hidup seperti dirinya. Baginya kesederhanaan ialah sebaik-baiknya jalan menuju kebahagiaan.
Misalnya minum obat yang pahit menimbulkan kepedihan, akan tetapi dapat menghilangkan kepedihan yang lebih besar lagi daripadanya yaiut kepedihan sakit, maka ia adalah baik.
Tetapi semakin lama golongan ini dicela banyak orang karena pengikut-pengikutnya menjadi sangat angkuh, tidak melihat perbuatan-perbuatan yang lainnya, hanya melihat perbuatan pada diri mereka sendirim , mereka tidak memikirkan orang lain, tidak menyampaikan kebahagiaan kecuali menyangkut dirinya, tidak merasakan pedih ketika orang lain merasakan kepedihan kecuali menyangkut dirinya.
2.     Paham Universalistic Hedonism (Utilitarianism)
Paham ini menghendaki manusia itu mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama  manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan.
Bagi golongan ini ketika kita ingin memberikan hukum baik atau buruk bagi suatu perbuatan, hendaknya kita melihat kelezatan dan kepedihan yang ada didalamnya, tetapi bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga orang lain, baik manusia, ataupun binatang yang merasakan akibat dari perbuatannya. Apabila kelezatan yang dirasakan orang sekitar kita lebih banyak maka baiklah ia, jika lebih banyak kepedihannya maka buruklah ia.
Tokoh dari paham ini ialah dua orang ahli filsafat inggris,  Benthan (1748-1832), ia adalah orang inggris yang pandai dan terkenal dalam penyelidikannya tentang akhlak dan undang-undang.dan John Stuart Mill (1806-1873), Mill adalah seorang filsafat inggris yang telah menulis buku tentang logika, politik, ekonomi. Begitu pula dengan Sidgwick, ia memeberikan bukti akan kebenaran paham ini. Tokoh-tokoh ini dianggap sebagai pemindah paham Epicurus menjadi paham Utilitarianism.[5]
C.   Ukuran Baik dan buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangatlah mendapat perhatian. Penentuan baik dan buruk dalam ajaran Islam harus di dasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan Hadits.
Kalau kita mau memperhatikan di dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah-istilah yang mengacu kepada baik dan buruk. Di antara istilah yang mengacu kepada yang baik, misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, mahmudah, al-birr , dan al-amanah. Sedangkan kata yang mengacu kepada yang buruk, misalnya al-sayyiah, al-qabihah, al-syarr, al-kidzb dan lainnya.
Al-hasanah adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, hasanah dari segi hawa nafsu/keinginan, dan hasanah dari segi panca indera. Lawan dari hasanah adalah al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan. Pemakian kata hasanah seperti diatas dapat kita jumpai, misalnya:
`tB uä!%y` ÏpoY|¡ysø9$$Î/ ¼ã&s#sù ׎öyz $pk÷]ÏiB ( `tBur uä!$y_ Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ Ÿxsù tøgä šúïÏ%©!$# (#qè=ÏHxå ÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# žwÎ) $tB (#qçR%x. šcqè=yJ÷ètƒ
Artinya:”Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan”. (al-Qashas, ayat 84)
Adapun kata Thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:
$uZø9tRr&ur ãNä3øn=tæ £`yJø9$# 3uqù=¡¡9$#ur ( (#qè=ä. `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB öNä3»oYø%yu
Artinya:’Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa"[6]. makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu”. (al-Baqarah, ayat 57)
Kemudian kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan, dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Contoh hal ini terdapat pada ayat:
 `tBur tí§qsÜs? #ZŽöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOŠÎ=tã 
Artinya ”Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui”.(al-baqarah, ayat 158)
Adapun kata mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. Jadi kata mahmudah menunjukkan pada kebaikan yyang bersifat batin dan spiritual. Hal ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C
Artinya: ”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji”.(al-Isra, ayat 79)
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji dan ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu kata karimah ini biasanya dugunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skala yan besar, seperti menafkahkan harta dijalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:
 Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[7]”.
Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka maksudnya adalah ketaatan. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$#
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menjelaskan kata ini di dalam haditsnya yang berbunyi:
البرّ حسن الخلقِ والإثم ما حاك في صدرك وكرهتُ أن يَطَّلِعَ عليه الناس (رواه أحمد)
Artinya: “al-birr (kebaikan) ialah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang beredar di hatimu yang kamu tidak suka orang lain mengetahuinya. (HR. Ahmad)
Dalam hadits tersebut kata al-birr dihubungkan denagn ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya denagn akhlak yang mulia, atau al-birr ini termasuk salah salah satu akhlak yang mulia[8].
Selain itu ada juga kata al-amanah diartikan sebagi sikap mental yang jujur, lurus hati dan terpecaya. Sikap ini sangat terpuji dan dihargai oleh setiap orang.
Lawannya adalah curang yaitu sebuah sikap yang dibenci orang. Setiap orang yang diberi amanah oleh orang lain wajib melaksanakan dan wajib mempertanggungjawabkannya, Allah mengingatkan pada ayat-Nya yaitu:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (An-Nisa ayat 58)
Dari ayat ini dipahami bahwa amanta identik dengan keadilan. Setiap orang yang memiliki sifat amanat memiliki sikap keadilan. Jika orang amanah menyelesaikan persolana yang terjadi di antara masyarakat, ia akan berlaku adil. Penyelesaian persolaan yang adil adalah penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap mental ini merupakan manifestasi dari keimanan. Hal ini ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لا إيمان لمن لا أمانة له. (رواه الديلمي).
Artinya: “Tidaklah sempurna iman orang yang tidak bersikap adil” [9].
Kata al-kidzb diartikan pendusta atau bohong. Dalam bahasa Indonesia kata ini diartikan dengan berkata tidak sesuai dengan fakta atau berbuat tidak sesuai dengan yang diinginkan. Allah SWT mengingatkan agar selalu waspada terhadap pendusta atau fasik, sebagaimana disampaikan dalam ayat:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Rasulullah SAW juga mengingatkan, setiap perbuatan dusta selalu menggiring kepada kejahatan dan kejahatan mengantar pelakunya ke neraka (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang diriwiyatkan oleh Muslim disebut beberapa hal yang dibolehkan dalam berdusta, diantaranya:
a.     Ketika peperangan dalam melawan orang musyrik. Untuk memenangkan peperangan itu umat Islam dibolehkan melakukan strategi dusta.
b.     Untuk melakukan ishlah atau perdamaian antara yang bermusuhan. Untuk mendamaikan mereka si juru pendamai boleh melakukan dusta speerlunya demi kemashlahatan bersama. Demikian juga untuk menyelamatkan jiwa orang lain yang sedang terancam.
c.      Untuk mempertahankan kerukunan rumah tangga, suami boleh berdusta kepada isterinya, seandainya hal itu tidak dilakukannya maka sang isteri akan meninggalkan rumahnya. (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk sikap diatas tetap termasuk pada kategori dusta, karena apa yang dilakukan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Akan tetapi hal itu dilakukan semata untuk mendapatkan kemashlahatan bersama maka dapat ditolerir oleh syari’at Islam[10].


BAB III
PENUTUP
Dari segi bahasa kata baik ialah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Menurut Ethik adalah sesuatu yang berharga untuk suatu tujuan. Baik juga diartikan sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Sedangkan kata buruk dalam bahasa Arab dikenal  dengan istilah Syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, dan lain sebagainya.
Bila kita hendak mengetahui panjang suatu bilik, kita akan memakai ukura-ukuran tertentu. Para ahli pengetahuan ada yang mengemukakan beberapa hal yang merupakan ukuran-ukuran yang sangat terkenal, diantaranya ialah adat istiadat dan mazhab (paham) Hedonism.
Adat istiadat ialah kebiasaan yang diwarisi oleh sekelompok masyarakat dari pendahulunya, yang hal tersebut dijadikan sebagai tolak ukur baik dan buruk. Sedangkan mazhab (paham) Hedonism ialah paham yang berfikir bahwa perbuatan baik itu adalah yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan biologis.
Sedangkan ukuran baik dan  buruk menurut ajaran Islam ialah bersumberkan wahyu Allah SWT, al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Di dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah-istilah yang mengacu kepada baik dan buruk. Di antara istilah yang mengacu kepada yang baik, misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, mahmudah, al-birr , dan al-amanah. Sedangkan kata yang mengacu kepada yang buruk, misalnya al-sayyiah, al-qabihah, al-syarr, al-kidzb dan lainnya.


Daftar Pustaka



Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A,  Akhlak Tasawuf,  (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966),
Prof.Dr.Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975)
Prof. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya:Amelia, 2005), Ct. ke-1
Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta:PT. Citra Serumpun Padi, 1996), Ct. ke-2, h. 34.


[1] Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta:PT. Citra Serumpun Padi, 1996), Ct. ke-2, h. 34
[2] Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A,  Akhlak Tasawuf,  (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966), h. 104
[3] Ibid, h. 105
[4] Prof.Dr.Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hal. 84-91.
[5] Prof.Dr.Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hal. 92-98.
[6] Salwa Ialah: burung sebangsa puyuh.
[7]Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
[8] Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A,  Akhlak Tasawuf,  (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966), h.199-128
[9] Prof. H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya:Amelia, 2005), Ct. ke-1, h.203
[10] Ibid, h. 222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar