BAB
I
PENDAHULUAN
Segolongan orang ada yang berpendapat bahwa pengertian tentang baik
dan buruk sama dengan pengertian hal-hal yang lainnya, ialah berdasarkan
pengalaman. Dan ia tumbuh sebab kemajuan zaman, kecerdasan pikiran dan beberapa
pengalaman. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai instink tetapi
pengalamanlah yang dapat memberikan ketentuan hukum baik pada sebagian
perbuatan dan hukum buruk pada sebagian
yang lain.
Sebenarnya kekuatan akhlak yang dapat mengenal baik dan buruk itu
yang tak lain dan tak bukan kecuali pengalaman. Pemberian hukum pada suatu
perbuatan timbul karena melihat maksud dan tujuan perbuatan kita dan sifat
pendorongnya, bukan sebab melihat perbuatan yang ada pada diri kita. Sedangkan
buah pengalaman yang kita dapat ialah sebuah perasaan dalam berakhlak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baik dan Buruk
Dari
segi bahasa kata baik ialah terjemahan dari kata khair dalam bahasa
Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Menurut Ethik adalah sesuatu yang
berharga untuk suatu tujuan[1].
Baik juga diartikan sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang
diharapkan, yang memberikan kepuasan[2].
Sedangkan
kata buruk dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah Syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak
baik, yang tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah
standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak
menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yanh
tercela, lawan dari yang baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma masyarakat yang berlaku. Jadi bisa diaktakan buruk itu ialah
sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya
oleh manusia[3].
B.
Ukuran
Baik dan Buruk
Bila kita hendak mengetahui panjang suatu bilik, kita akan memakai
ukura-ukuran tertentu. Dan dengan ukuran meter umpamanya kita mengetahui ukuran
bilik itu. Demikian juga ketika kita hendak mengetahui timbangan sesuatu. Maka
dengan ukuran dan timbangan apakah kita dapat mengetahui baik dan buruk dari
suatu perbuatan.
Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu,
diantara mereka ada yang melihatnya baik. Bahkan ada diantara mereka yag
menilai sesuatu pada waktu itu baik tapi mengatakan sesuatu itu buruk pada
waktu lain. Maka dengan ukuran apakah, sehingga dengan suatu pandangan kita
dapat memberi hukum baik atau buruk kepada suatu perbuatan?.
Para ahli pengetahuan ada yang mengemukakan beberapa hal yang
merupakan ukuran-ukuran yang sangat terkenal, diantaranya ialah adat istiadat
dan mazhab (paham) Hedonism.
1.
Adat
Istiadat
Dalam segala tempat dan waktu, manusia pasti akan dipengaruhi oleh
adat istiadat, baik dari golongan ataupun bangsanya, dikarenakan ia hidup
dilingkungan suatu golongan atau bangsa tertentu. Dari melihat dan mengetahui
bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjauhi perbuatan lainnya,
sehingga ia mengikuti kebanyakan perbuatan yang mereka lakukan atau mereka
tinggalkan.
Tiap-tiap bangsa pasti memiliki adat istiadat yang berbeda-beda dan
menganggap baik bila mengikutinya. Misalnya saja disuatu daerah ada keluarga
yang mengenalkan kepada anak-anaknya tentang adat istiadat dan mengajarkan
mereka tentang adat istiadat tersebut.. serta menanamkan kepada mereka bahwa
adat istiadat itu membawa kesucian, sehingga apabila ada yang melanggarnya
sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.
Mengapa perintah-perintah adat istiadat sangat mudah dilakukan dan
larangan-larangannya dijauhi?. Ini semua dilakukan karena beberapa alas an diataranya ialah :
a.
Pendapat yang
sangat umum yaitu, mereka melihat adat istiadat suatu bangsa dan menggapnya
bagus atau baik, sehingga semakin lama penilaian itu melekat pada dirinya dan
ketika ada orang yang melanggar atau menyalahinya dianggap sebagai orang yang
jahat dan buruk.
b.
Adat istiadat
bersifat turun temurun dan ada hikayat-hikayat tertentu yang menganggap bahwa
syetan akan membalas dendamnya kepada orang-orang yang tidak menjalankan serta
menyalahi aturan adat, dan malaikat akan
member pahala bagi yang mengikutinya.
Pada suatu waktu orang-orang berpendapat bahwa yang baik itu adalah
yang sesuai dengan adat istiadat, dan yang buruk itu ialah yang menyalahi adat
istiadat. Pada masa ini banyak orang yang meyakini hal tersebut, bahkan
orang-orang umum diluar adat istiadat pun berpendapat serupa. Mereka berbuat
sesuai dengan adat orang yang mereka anggap benar. Bahkan mereka juga menjauhi
apa yang dijauhi kaum tersebut, karena kaum itu tidak melakukannya. Sehingga ukuran baik dan buruk menurut mereka
adalah adat istiadat golongannya.
Jika kita melihat orang umum sedang sakit, tidak mengundang dokter
untuk mengobatinya, karena tidak ada dalam aturan adatnya. Akan tetapi ketika
salah seorang meninggal dunia, maka mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan
banyak uang untuk mengadakan hari peringatan. Karena bila ia tidak
melakukannya, maka ia dianggap orang yang menyalahi adat istiadatnya.
Akan tetapi dengan penyelidikan yang seksama, teranglah bagi kita
bahwa adat istiadat itu tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran dan
pertimbangan, karena sebagian dari perintah-perintahnya tidak masuk akal dan
setengah merugikan. Dan banyak perbuatan
yang benar-benar salah dalam pandangan kita tetapi mereka melakukannya seperti
menanam anak perempuan hidup-hidup yang dilakukan oleh sebagian bangsa arab
pada zaman jahiliyah. Mereka menganggap
perbuatan itu benar, tidak tercela, dan tidak salah, seperti yang tercantum
dalam surah An-Nahl ayat 58-59.
Setelah datang agama islam, maka ia mencegah mereka dari adat
istiadat itu dan menjelaskan aka kesalahannya.
Pada bangsa Romawi seorang ayah berhak untuk mematikan dan
menghidupkan anak-anaknya, serta ditengah-tengah Afrika seseorang dari kita
tidak akan nyaman berjalan diantara penduduknya karena bagi mereka orang asing
tidak berhak berjalan ditengah-tengah mereka. Bahkan mereka tidak menggap
membunuh orang tersebut adalah perbuatan yang salah. Karena tidaklah wajib bagi
mereka untuk menjaga hidup serta kehidupan orang lain.
Pada masa sekarang ini kita tidak dapat membenarkan pendapat adar
istiadat yang seperti itu.. dan bila adat istiadat tersebut banyak salahnya,
maka tidaklah tepat untuk dijadikan ukuran perbuatan baik dan buruk bagi
perbuatan kita.
Demikian pula jika manusia berpegang pada adat istiadat lama ini,
maka dunia tidak akan maju, karena kemajuan dunia itu akan tercapai ketika ada
golongan yang suka menunjukkan kesalahan kaumnya, memppunyai keberanian untuk
menyalahi adat lama tersebut serta mengajak kepada kebenaran. Meskipun awalnya
mereka akan menghadapi penderitaan, tetapi akhirnya akan tersebarlah fikirannya
dan banyak pengikutnya, sehingga barang baru yang benar menempati barang lama
yang salah.
Berpegang kepada istiadat yang tidak benar sebenarnya juga memiliki
faedah, sebab ada juga orang yang tidak mau melanggar adat istiadat yang baik,
dan banyak pula orang yang tidak mau mencuri dan minum minuman keras karena
adatnya tidak mengijinkannya serta takut dicemooh oleh golongannya.
2.
Mazhab
(paham) Hedonisme
Setelah ahli-ahli filsafat menyelidiki ukuran baik dan buruk secara
ilmu pengetahuan, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa ukuran baik dan
buruk itu adalah bahagia. Bahagia itu adalah tujuan akhir dari hidup manusia.
Mereka mengartikan bahagia dengan kelezatan dan sepi dari kepedihan. Kelezatan
bagi mereka adalah ukuran perbuatan, maka perbuatan yang mengandung kebahagian
itu baik dan yang mengandung kepedihan itu buruk.
Mazhab (paham) Hedonisme itu tidak mengatakan bahwa manusia itu
hendaknya mencari kelezatan saja, tetapi mereka mengatakan hendaknya manusia
mencari sebesar-besarnya kelezatan, dan apabila ia disuruh memilih diantara
beberapa perbuatan, wajib ia memilih yang paling besar kelezatannya.
Mereka yang mengikuti paham
ini dibagi menjadi 2, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ukuran
itu ialah kelezatan diri orang yang berbuat, ini disebut “paham Egoistic
Hedonism” dan ada juga yang mengatakan
bahwa ukuran iut ialah kelezatan segala makhluk dan paham ini dinamakan
“Universalistic Hedonism atau Utilitarianism”.[4]
1.
Paham
Egoistic Hedonism
Paham ini menyatakan bahwa manusia itu hendaknya mencari
sebesar-besarnya kelezatan (kebahagian) untuk dirinya dan wajib
menghadapkan segala perbuatannya kearah yang menghasilkan kebahagiaan tersebut.
Bagi paham ini bila seseorang bingung dengan dua perbuatan,
hendaklah ia mengukur perbuatan itu, dengan cara menghitung banyak atau
sedikitnya kelezatan dan kepedihan yang terkandung didalamnya. Bila kelezatan
yang banyak berarti baiklah ia, jika kepedihan yang banyak berarti buruklah ia,
dan kalau sama antara keduanya maka ia merdeka untuk memilihnya.
Pengikut ini mewajibkan setiap manusia untuk menyelidiki apa yang
mendatangkan kelezatan dan kepedihan, serta perbuatan apa yang membawanya
kepada arah tersebut. Dan perbuatan yang membawa kearah tersebut ialah baik.
Pemimpin paham ini yang paling besar ialah Epicurus. Epicurus ialah
seorang ahli filsafat Yunani yang hidup pada tahun 341-270 sebelum Masehi. Dia
mendirika sekolah pada tahun 306 SM, dan berdiri terus sampai lebih 6 abad.
Ajaran-ajarannya terdiri dari Mantiq, Alam, dan Akhlak. Yang kami perhatikan
disini ialah penyelidikannya tentang akhlak, dan kakmi ringkaskan pendapatannya
seperti dibawah ini :
a.
Epicurus
berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu ialah tujuan manusia. Tidak
ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali
penderitaan. Dan akhlak itu tak lain dan tidak bukan kecuali berbuat untuk
menghasilkan kebahagiaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri,
tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.
b.
Golongan
Epicurus berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak bergantung kepada banyaknya
kebutuhan, karena banyaknya kebutuhan hanyalah mempersulit hidup, Epicurus pun
hidup sederhana, sehingga ia mengajak
pengikut-pengikutnya untuk mengikuti cara hidup seperti dirinya. Baginya
kesederhanaan ialah sebaik-baiknya jalan menuju kebahagiaan.
Misalnya minum obat yang pahit menimbulkan kepedihan, akan tetapi
dapat menghilangkan kepedihan yang lebih besar lagi daripadanya yaiut kepedihan
sakit, maka ia adalah baik.
Tetapi semakin lama golongan ini dicela banyak orang karena
pengikut-pengikutnya menjadi sangat angkuh, tidak melihat perbuatan-perbuatan
yang lainnya, hanya melihat perbuatan pada diri mereka sendirim , mereka tidak
memikirkan orang lain, tidak menyampaikan kebahagiaan kecuali menyangkut
dirinya, tidak merasakan pedih ketika orang lain merasakan kepedihan kecuali
menyangkut dirinya.
2.
Paham
Universalistic Hedonism (Utilitarianism)
Paham ini menghendaki manusia itu mencari kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sesama
manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan.
Bagi golongan ini ketika kita ingin memberikan hukum baik atau
buruk bagi suatu perbuatan, hendaknya kita melihat kelezatan dan kepedihan yang
ada didalamnya, tetapi bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga orang
lain, baik manusia, ataupun binatang yang merasakan akibat dari perbuatannya.
Apabila kelezatan yang dirasakan orang sekitar kita lebih banyak maka baiklah
ia, jika lebih banyak kepedihannya maka buruklah ia.
Tokoh dari paham ini ialah dua orang ahli filsafat inggris, Benthan (1748-1832), ia adalah orang inggris
yang pandai dan terkenal dalam penyelidikannya tentang akhlak dan
undang-undang.dan John Stuart Mill (1806-1873), Mill adalah seorang filsafat
inggris yang telah menulis buku tentang logika, politik, ekonomi. Begitu pula
dengan Sidgwick, ia memeberikan bukti akan kebenaran paham ini. Tokoh-tokoh ini
dianggap sebagai pemindah paham Epicurus menjadi paham Utilitarianism.[5]
C.
Ukuran
Baik dan buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT,
al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW.
Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangatlah mendapat perhatian. Penentuan baik
dan buruk dalam ajaran Islam harus di dasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan
Hadits.
Kalau kita mau memperhatikan di dalam al-Qur’an dan Hadits terdapat
istilah-istilah yang mengacu kepada baik dan buruk. Di antara istilah yang
mengacu kepada yang baik, misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, mahmudah,
al-birr , dan al-amanah. Sedangkan kata yang mengacu kepada yang
buruk, misalnya al-sayyiah, al-qabihah, al-syarr, al-kidzb dan
lainnya.
Al-hasanah adalah suatu istilah yang dipakai
untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, hasanah dari segi hawa
nafsu/keinginan, dan hasanah dari segi panca indera. Lawan dari hasanah adalah
al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan. Pemakian kata
hasanah seperti diatas dapat kita jumpai, misalnya:
`tB
uä!%y`
ÏpoY|¡ysø9$$Î/
¼ã&s#sù
×öyz
$pk÷]ÏiB
( `tBur
uä!$y_
Ïpy¥Íh¡¡9$$Î/
xsù
tøgä
úïÏ%©!$#
(#qè=ÏHxå
ÏN$t«Íh¡¡9$#
wÎ)
$tB
(#qçR%x.
cqè=yJ÷èt
Artinya:”Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, Maka
baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang
datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada
orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan
apa yang dahulu mereka kerjakan”. (al-Qashas, ayat 84)
Adapun kata Thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu
yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa, seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya
buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:
$uZø9tRr&ur
ãNä3øn=tæ
£`yJø9$#
3uqù=¡¡9$#ur
( (#qè=ä.
`ÏB
ÏM»t6ÍhsÛ
$tB
öNä3»oYø%yu
Artinya:’Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan
kepadamu "manna" dan "salwa"[6].
makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu”.
(al-Baqarah, ayat 57)
Kemudian kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang
baik seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan, dan segala sesuatu
yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Contoh hal ini terdapat pada ayat:
`tBur
tí§qsÜs?
#Zöyz
¨bÎ*sù
©!$#
íÏ.$x©
íOÎ=tã
Artinya ”Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan
kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
mengetahui”.(al-baqarah, ayat 158)
Adapun kata mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama
sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. Jadi kata
mahmudah menunjukkan pada kebaikan yyang bersifat batin dan spiritual. Hal ini
dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7t y7/u $YB$s)tB #YqßJøt¤C
Artinya: ”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat
kamu ke tempat yang Terpuji”.(al-Isra, ayat 79)
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada
perbuatan dan akhlak yang terpuji dan ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu kata karimah ini biasanya dugunakan untuk menunjukkan perbuatan
terpuji yang skala yan besar, seperti menafkahkan harta dijalan Allah, berbuat
baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[7]”.
Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya
memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut
terkadang sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika
kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah
memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka
maksudnya adalah ketaatan. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$#
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menjelaskan kata ini di dalam
haditsnya yang berbunyi:
البرّ حسن الخلقِ والإثم ما حاك في صدرك وكرهتُ أن يَطَّلِعَ عليه الناس (رواه
أحمد)
Artinya: “al-birr (kebaikan) ialah akhlak yang baik, dan dosa
adalah apa yang beredar di hatimu yang kamu tidak suka orang lain
mengetahuinya. (HR. Ahmad)
Dalam hadits tersebut kata al-birr dihubungkan denagn ketenangan
jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa
al-birr dekat artinya denagn akhlak yang mulia, atau al-birr ini termasuk salah
salah satu akhlak yang mulia[8].
Selain itu ada juga kata al-amanah diartikan sebagi sikap mental
yang jujur, lurus hati dan terpecaya. Sikap ini sangat terpuji dan dihargai
oleh setiap orang.
Lawannya adalah curang yaitu sebuah sikap yang dibenci orang.
Setiap orang yang diberi amanah oleh orang lain wajib melaksanakan dan wajib
mempertanggungjawabkannya, Allah mengingatkan pada ayat-Nya yaitu:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (An-Nisa ayat 58)
Dari ayat ini dipahami bahwa amanta identik dengan keadilan. Setiap
orang yang memiliki sifat amanat memiliki sikap keadilan. Jika orang amanah
menyelesaikan persolana yang terjadi di antara masyarakat, ia akan berlaku
adil. Penyelesaian persolaan yang adil adalah penyelesaian yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sikap mental ini merupakan manifestasi dari keimanan.
Hal ini ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
لا إيمان لمن لا أمانة له. (رواه الديلمي).
Artinya: “Tidaklah sempurna iman orang yang tidak bersikap adil” [9].
Kata al-kidzb diartikan pendusta atau bohong. Dalam bahasa
Indonesia kata ini diartikan dengan berkata tidak sesuai dengan fakta atau
berbuat tidak sesuai dengan yang diinginkan. Allah SWT mengingatkan agar selalu
waspada terhadap pendusta atau fasik, sebagaimana disampaikan dalam ayat:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Rasulullah SAW juga mengingatkan, setiap perbuatan dusta selalu
menggiring kepada kejahatan dan kejahatan mengantar pelakunya ke neraka (HR.
Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang diriwiyatkan oleh Muslim disebut beberapa hal
yang dibolehkan dalam berdusta, diantaranya:
a.
Ketika
peperangan dalam melawan orang musyrik. Untuk memenangkan peperangan itu umat
Islam dibolehkan melakukan strategi dusta.
b.
Untuk melakukan
ishlah atau perdamaian antara yang bermusuhan. Untuk mendamaikan mereka si juru
pendamai boleh melakukan dusta speerlunya demi kemashlahatan bersama. Demikian
juga untuk menyelamatkan jiwa orang lain yang sedang terancam.
c.
Untuk
mempertahankan kerukunan rumah tangga, suami boleh berdusta kepada isterinya,
seandainya hal itu tidak dilakukannya maka sang isteri akan meninggalkan
rumahnya. (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk sikap diatas tetap termasuk pada kategori dusta,
karena apa yang dilakukan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Akan tetapi hal
itu dilakukan semata untuk mendapatkan kemashlahatan bersama maka dapat
ditolerir oleh syari’at Islam[10].
BAB
III
PENUTUP
Dari segi bahasa kata baik ialah terjemahan dari kata khair
dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Menurut Ethik adalah
sesuatu yang berharga untuk suatu tujuan. Baik juga diartikan sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan.
Sedangkan kata buruk dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah Syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak
baik, yang tidak seperti seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah
standar, dan lain sebagainya.
Bila kita hendak mengetahui panjang suatu bilik, kita akan memakai
ukura-ukuran tertentu. Para ahli pengetahuan ada yang mengemukakan beberapa hal
yang merupakan ukuran-ukuran yang sangat terkenal, diantaranya ialah adat
istiadat dan mazhab (paham) Hedonism.
Adat istiadat ialah kebiasaan yang diwarisi oleh sekelompok
masyarakat dari pendahulunya, yang hal tersebut dijadikan sebagai tolak ukur
baik dan buruk. Sedangkan mazhab (paham) Hedonism ialah paham yang berfikir
bahwa perbuatan baik itu adalah yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan
dan kepuasan biologis.
Sedangkan ukuran baik dan
buruk menurut ajaran Islam ialah bersumberkan wahyu Allah SWT, al-Qur’an
yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Di dalam
al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah-istilah yang mengacu kepada baik dan
buruk. Di antara istilah yang mengacu kepada yang baik, misalnya al-hasanah,
thayyibah, khairah, mahmudah, al-birr , dan al-amanah. Sedangkan
kata yang mengacu kepada yang buruk, misalnya al-sayyiah, al-qabihah,
al-syarr, al-kidzb dan lainnya.
Daftar
Pustaka
Prof.
Dr. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966),
Prof.Dr.Ahmad
Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975)
Prof.
H. A. Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia,
(Surabaya:Amelia, 2005), Ct. ke-1
Prof.
Dr. H. Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia),
(Jakarta:PT. Citra Serumpun Padi, 1996), Ct. ke-2, h. 34.
[1] Prof. Dr. H.
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta:PT. Citra
Serumpun Padi, 1996), Ct. ke-2, h. 34
[2] Prof. Dr.
Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966), h. 104
[3] Ibid, h. 105
[4] Prof.Dr.Ahmad
Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hal. 84-91.
[5] Prof.Dr.Ahmad
Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975) hal. 92-98.
[6] Salwa Ialah:
burung sebangsa puyuh.
[7]Mengucapkan kata Ah kepada orang tua
tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan
mereka dengan lebih kasar daripada itu.
[8] Prof. Dr.
Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1966), h.199-128
[9] Prof. H. A.
Rahman Ritonga, MA, Akhlak Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia,
(Surabaya:Amelia, 2005), Ct. ke-1, h.203
[10] Ibid, h. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar